Yang Ming Shan

Yang Ming Shan
Dream

Monday, January 3, 2011

Posisi dan Peran Generasi Muda dalam Membangun Hubungan Diplomatis Indonesia – Jepang

This paper argues that diplomatic relations between Indonesia – Japan which has been started since 1958 could not be separate from the position and the role of youth. Starting from the concept that youth is a part of society and unit of it, public diplomacy as one of the activities in this relationship targeted youth in both countries society to promote mutual understanding. This paper would see on the exchange program, schoolarship program, and cultural program as cases of Indonesia – Japan diplomatic relations that involved youth since long time ago and get them expanded every years. It stresses the significance youth involvements in diplomatic relations from both countries public diplomacy.

Keywords: Youth, Indonesia, Japan, Diplomatic Relations, Position and Role

Generasi muda atau pemuda dikatakan sebagai tulang punggung negara. Seringkali dikatakan oleh kebanyakan orang bahwa pemuda akan menentukan nasib bangsa kedepan. Oleh karena itu, wacana-wacana mengenai nasionalisme maupun wawasan kebangsaan menjadi wacana penting untuk membentuk generasi muda yang berkualitas. Namun wacana-wacana mengenai pemuda memang masih jarang terlihat dalam konteks hubungan internasional. Pemuda sebagai generasi bangsa banyak dikaji dalam konteks nasib bangsa kedepan itu sendiri tanpa banyak mengkaitkannya dengan studi hubungan internasional.

Studi hubungan internasional yang berkembang bersama-sama dengan konsep sosiologi atau kajian masyarakat, globalisasi, dan transnasional menjadikan negara bukan lagi menjadi satu-satunya aktor yang mendapat perhatian. Meskipun posisi negara masih menjadi aktor utama dalam hubungan internasional, namun keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat menjadi perhatian baru yang dapat mempengaruhi dinamika hubungan internasional. Meminjam definisi globalisasi yang dikatakan oleh Anthony Giddens (1990: 64), “the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such way that local happening are shaped by event occurring many miles away and vice versa”. Dengan definisi globaliasi yang dikatakan oleh Giddens, dapat dikatakan kembali bahwa globalisasi berkaitan erat dengan interaksi antar masyarakat yang berbeda negara. Intensitas hubungan antar masyarakat dalam hubungan internasional yang semakin berkembang, setidaknya memunculkan suatu wacana bahwa masyarakat bisa menjadi salah satu aktor dalam mempengaruhi dinamika hubungan internasional.

Pemuda adalah bagian dari suatu masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh I. Basis Susilo (2006: 67) bahwa Pemuda merupakan salah satu unit atau salah satu kelompok sosial dalam masyarakat. Keberadaan pemuda dalam politik domestik hampir disetiap negara, pasti memiliki peran penting. Sebagai contoh, perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, ataupun saat perjuangan menanamkan demokrasi di Indonesia, terdapat peran pemuda. Seperti yang dijelaskan oleh Masdiana (2008: 5) bila melihat ada sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, kiprah kaum muda selalu mengikuti setiap tapak-tapak penting sejarah. Pemuda selalu menjadi kekuatan utama dalam proses modernisasi dan perubahan.

Peran generasi muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya berkecimpung dalam persoalan kemerdekaan atau kental di negara-negara berkembang saja. Jepang sebagai negara maju, memposisikan generasi mudanya sebagai unit yang penting untuk menentukan nasib bangsa kedepan. Negara-negara maju, termasuk Jepang juga menanamkan terus nasionalisme dan patriotisme di kalangan pemudanya (Susilo, 2007: 38-40).

Apabila sejarah-sejarah perjuangan bangsa maupun kehidupan berbangsa dan bernegara dikatakan memiliki keterkaitan terhadap peran pemuda, maka terlihat jelas bahwa pemuda adalah aktor yang patut mendapat perhatian dalam studi hubungan internasional. Baik Indonesia maupun Jepang, mengakui bahwa pemuda adalah unit yang penting dalam membangun masing-masing bangsa. Bahkan dalam peringatan 50 Tahun hubungan bilateral kedua negara, Indonesia dan Jepang sama-sama mengakui bahwa generasi muda kedua negara memegang estafet hubungan diplomatis kedepan. Oleh karena itu, yang menjadi penulisan disini adalah Bagimana posisi dan peran generasi muda dalam membangun hubungan diplomatis Indonesia – Jepang?

Pemuda adalah suatu kelompok sosial dalam masyarakat yang dapat didefinisikan berdasarkan usianya. Indonesia dan Jepang memiliki definisi serta cara pandang yang berbeda terhadap pemuda. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009, menetapkan Undang-Undang Kepemudaan, Pasal 1 ayat 1, bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memiliki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan di Jepang, yang dimaksud dengan pemuda adalah mereka yang berusia diatas 18 (delapan belas) tahun hingga 34 (tiga puluh empat) tahun (www8.cao.go.jp, diakses 13 April 2010).

Dalam kosakata Bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan sebutan generasi muda. Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan saat ini maupun masa datang (Masdiana, et.al., 2008: 1). Secara harfiah, kamus Websters Pincenton, mengartikan bahwa “Youth” atau Pemuda, adalah “The time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperianced; the freshness and vitality characteristic of a young person”. Istilah pemuda atau generasi muda umunya dikenal sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua (Abdullah dalam kutipan els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemuda%20dan%20agenda.pdf, diakses 3 April 2010)

Pola Diplomasi Publik dalam Hubungan Diplomatik

Hubungan diplomatik merupakan sebuah hubungan diplomasi antar dua atau lebih negara. Diplomasi sendiri diartikan sebagai suatu bentuk kontak antar negara berdasarkan representasi permanen di Ibu Kota Negara masing-masing negara (Haas dan Whiting, 1956: 135). Sebuah hubungan diplomatik seperti yang dijelaskan menurut “Vienna Convetion on Diplomatic Relations”, 8 April 1961, Pasal 3 (Sukartiko, 2005: 151) bahwa fungsi-fungsi misi diplomatik terdiri dari: (1). Representating: yaitu mewakili negara pengirim di negara penerima (negara akreditasi). (2). Protecting: yaitu melindungi kepentingan nasional negara pengirim dan warga nasionalnya di negara penerima, dalam batas ketentuan hukum internasional. (3). Negotiation: yaitu kegiatan perundingan dengan pemerintah negara penerima. (4). Ascertaining/Reproting: yaitu memantau atau/dan melaporkan dengan cara-cara sah mengenai keadaan maupun perkembangan kondisi di negara penerima pada negara pengirim. (5) Promoting: yaitu mengembangkan dan mempromosikan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara penerima maupun pengembangan hubungan ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Praktek diplomasi publik Jepang di Indonesia memiliki dua bentuk, yaitu: Pertukaran Masyarakat dan Kegiatan Budaya. Hubungan diplomatik Jepang dengan Indonesia yang dimulai sejak April 1958, secara aktif Jepang mempromosikan hubungan yang dapat meningkatkan saling pemahaman antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Indonesia melalui kegiatan pertukaran pemuda dan mahasiswa. Secara umum, upaya mempromosikan saling pemahaman antara masyarakat maupun antar pemuda dilakukan Jepang dengan berbagai negara ataupun dengan komunitas, seperti Jepang – ASEAN maupun dengan negara-negara Asia Timur lainnya. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN dan bagian dari negara Asia Timur, Indonesia berperan aktif dalam mendukung kegiatan pertukaran pemuda Jepang dengan negara-negara ASEAN maupun Asia Timur dengan mengirimkan perwakilannya. Ada beberapa contoh kegiatan saling pemahaman yang dilakukan Jepang dengan negara-negara ASEAN dan Asia Timur lainnya termasuk Indonesia yang melibatkan pemuda, seperti The Ship for Southeast Asian Youth Program (SSEAYP), East Asia Summits (EAS), dan Japan East Asia Network of Exchange for Students and Youths (JENESYS). Kegiatan ini dipromosikan Jepang sebagai langkah untuk membentuk suatu Komunitas Asia Timur dan kepercayaan Jepang akan peran pemuda dalam membangun masa depan hubungan Jepang dengan negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia untuk membentuk suatu komunitas Asia Timur (Hightlighting, 2010: 12-13 dalam www.gov-online.go.jp, diakses 19 April 2010).

Hubungan diplomatik Indonesia – Jepang yang mencapai usia 50 tahun menjadi suatu momen berharga bagi kedua negara termasuk Jepang untuk meningkatkan dan memperluas bentuk-bentuk hubungan dan interkasi antar kedua negara. Seperti yang terlihat dalam perayaan ulang tahun emas hubungan diplomatik Indonesia – Jepang, Pemerintah Jepang sangat mengapresiasi dan antusias terhadap tiga bidang peningkatan hubungan diplomatik kedua negara, seperti Pendidikan, Kebudayaan dan Perukaran di Tingkat Akar-Rumput, Ekonomi (perdagangan, investasi, sains dan teknologi, pariwisata). Dalam hal pendidikan, kedua negara mengharapkan peningkatan pembinaan dan pertukaran generasi yang akan mengemban masa depan hubungan antara kedua negara (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 3 April 2010).

Bentuk pertukaran masyarakat yang dilakukan Jepang sebagai rangkaian diplomasi publik dilakukan beragam. Bentuk-bentuk diplomasi publik Jepang terhadap Indonesia disesuaikan dengan minat masyarakat Jepang. Salah satu contohnya adalah minat beberapa masyarakat Indonesia yang tertarik pada kebudayaan Jepang anime. Melihat antusias dan minat yang tinggi beberapa generasi muda Indonesia terhadap anime, Pemerintah Jepang mengundang generasi muda Indonesia untuk mempelajari anime di Indonesia (Ika, 2010 dalam www.international.okezone.com, diakses 29 April 2010).

“Cultural Diplomacy is the linchpin of Public Diplomacy” dari kalimat tersebut dapat didefiniskan bahwa diplomasi kebudayaan adalah pertukaran ide-ide, informasi, seni, dan semua aspek kebudayaan suatu negara dan orang-orangnya dengan tujuan untuk meningkatkan saling pemahaman (Cummings, 2003: 1). Selain bentuk-bentuk pertukaran yang melibatkan pemuda, diplomasi Jepang juga diimplementasikan dalam bentuk kebudayaan. Bahkan untuk menunjang diplomasi tersebut, Jepang membentuk website khusus (www.jpf.or.id) mengenai informasi kebudayaan serta kegiatan-kegiatan budaya Jepang di Indonesia. Japan Foundation Jakarta atau (JPF) adalah organisasi nirlaba semi pemerintah di bawah supervisi departemen luar negeri Jepang. JPF sudah ada di Indonesia sejak tahun 1972. Keberadaan dan pembentukkan JPF merupakan salah satu bentuk diplomasi publik Jepang yang bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara negara-negara lain, termasuk dengan Indonesia. Pembentukan JPF tahun 1970an adalah upaya pemerintah Jepang untuk memperkenalkan citra Jepang yang saat itu dikenal sebagai negara yang mendominasi ekonomi. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan diplomasi publik Jepang melalui keberadaan Pusat Kebudayaan Jepang yang disebut JPF, terdapat beberapa program umum yang melibatkan masyarakat, terutama pemuda secara langsung untuk berinteraksi dengan Jepang. Program-program yang dirancang oleh Pemerintah Jepang melalui JPF, misalnya, (1) Bertambahnya jumlah universitas di Indonesia yang memperoleh guru besar tamu melalui program Visiting Professorship. (2) Bertambahnya jumlah orang Indonesia yang diundang ke Jepang melalui program Fellowship maupun Short-term Visitors, dan juga undangan menghadiri festival film di Jepang. (3) Program undangan guru teladan tetap diadakan dengan jumlah mencapai 20 orang. (4) Diadakannya kursus bahasa Jepang dan kursus Ikebana. (5) Mendatangkan berbagai grup seni dan budaya Jepang ke Indonesia untuk diperkenalkan kepada seluruh masyarakat di Indonesia, misalnya : Tari Okinawa, Teater untuk Anak, Festival Layang Jepang dan Indonesia, Kelompok Wind Orchestra, Pertandingan Persahabatan Olahraga, dan lain sebagainya. (6) Penyediaan perpustakaan yang menjadi perpustakaan yang memiliki koleksi buku tentang Jepang terlengkap di Indonesia. Perpustakaan ini, telah memberikan manfaat yang besar bagi mahasiswa maupun masyarakat umum yang berminat tentang Jepang. (7) Pendirian Asosiasi Studi Jepang.

Program-program tersebut merupakan program besar yang dilakukan oleh JPF dengan supervisi Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia dengan memberikan kesempatan langsung untuk terlibat dalam kegiatan kebudayaan Jepang (Japan Foundation, 2010 dalam www.jpf.or.id, diakses 29 April 2010).

Apabila dibandingkan dengan Jepang, praktek-praktek diplomasi publik Indonesia terhadap msayarakat Jepang, terutama pemuda kurang beragam. Bisa dikatakan bahwa praktek diplomasi publik Indonesia terhadap Jepang didominasi oleh kegiatan kebudayaan. Sebagai salah satu cara mempromosikan Indonesia kepada publik Jepang, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo secara aktif menyelenggarkan berbagai kegiatan seni budaya yang melibatkan masyarakat Jepang. Kegiatan kebudayaan Indonesia yang dilakukan seperti misalnya peragaan busana tradisional masyarakat Indonesia, pameran dan pagelaran adat istiadat Indonesia, maupun pertunjukan seni tari dan seni musik di Indonesia. sebagai salah satu contoh dari beragam rangkaian kegiatan kebudayaan Indonesia yang dilakukan di Jepang adalah Festival Budaya “Beauty of Indonesia”. Festival tersebut merupakan Festival yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan penyelenggara Komunitas Indonesia di Shizuoka serta bantuan dari Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI) dan Lembaga Persahabatan Indonesia – Hamamatsu (LPIH). Festival tersebut mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat Jepang dan membuat masyarakat Jepang semakin mengenal Indonesia. Bahkan festival tersebut menjadi salah satu agenda rutin di beberapa kota di Jepang. Menurut Hiroji Tanaka, ketua LPIH, bahwa masyarakat Indonesia di Hamamatsu memberikan warna bagi masyarakat di kota tersebut. Warga Indonesia dikenal mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Melalui kegiatan semacam itu, dipandang Duta Besar Indonesia untuk Tokyo, Jusuf Anwar, dapat mendekatkan komunitas masyarakat Indonesia dan Jepang saat bersamaan mencari dan mengembangkan peluang-peluang kerjasama dari interaksi tersebut (KBRI Tokyo dalam www.indonesianembassy.jp, diakses 19 April 2010).

Sebagai negara yang dikenal dengan keberagaman budaya dan seni yang menarik, Pemerintah Indonesia memanfaatkan peluang tersebut sebagai diplomasi publiknya. Kekuatan diplomasi publik Indonesia salah satunya ditunjang oleh kebudayaan Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi diplomasi publik itu sendiri tidak terlepas dari promosi kebudayaan Indonesia ke Jepang. Bentuk kolaborasi pertunjukan kebudayaan menjadi alat efektif untuk memperkenalkan Indonesia kepada publik Jepang. Seperti yang dilakukan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Osaka, 75 seniman Indonesia dan Jepang yang berkolaborasi dalam `Indonesia-Japan Joint Cultural Performances` pada 10 Oktober 2008. Kolaborasi yang diadakan oleh KJRI di Osaka setidaknya mampu mengundang dan menarik perhatian masyarakat Osaka, Jepang (KJRI Osaka, 2009 dalam www.tabloiddiplomasi.com, diakses 28 April 2010).

Pendekatan Budaya dalam Melihat Keterlibatan Pemuda

Dari pola-pola diplomasi publik Jepang maupun Indonesia yang dijelaskan diatas, pendekatan budaya menjadi sangat mungkin dilakukan. Diplomasi kebudayaan yang merupakan bagian yang integritas dari diplomasi publik, merupakan salah satu contoh yang dapat dekat dan fleksibel untuk menjadikan pemuda sebagai objeknya. Seperti yang dijelaskan Advisory Committee on Cultural Diplomacy bahwa diplomasi kebudayaan sebagai bagian dari diplomasi publik merupakan diplomasi yang dapat menjangkau pemuda (Arndt, 2007: 166-167).

Dalam studi hubungan internasional pun, pendekatan budaya adalah pendekatan yang memungkinkan dalam menjawab berbagai fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional. Pekembangan konsep budaya tidak lagi terbatas pada pengertian budaya sebagai produk seni atau pun “populer culture” atau “high culture” yang dikenal melalui musik, tarian, dan kesenian lainnya. Istilah budaya sendiri telah dikenal sejak lama dalam konsep hubungan internasional, terutama dalam konsep diplomasi bukan hanya sebagai “high culture”. Perkembangan budaya sebagai salah satu pendekatan dalam studi hubungan internasional bisa dikatakan berkembang bersama konsep diplomasi itu sendiri. Pengertian budaya dapat terbagi kedalam dua bentuk, yang pertama budaya sebagai produk seni seperti yang telah disinggung sebelumnya, dan yang kedua, budaya juga dapat berarti sebagai sistem yang merepresentasikan tentang kehidupan masyarakat (Depkat, 2004: 178).

Definisi mengenai budaya sebagai suatu hal yang tidak lagi sebatas “high culture” telah berkembang pesat. Ada banyak pengertian yang bisa diambil dari berbagai definisi mengenai budaya sebagai suatu bagian dalam kehidupan manusia yang membentuk pola-pola hubungan. Seperti yang dijelaskan oleh Kluckhohn (dalam kutipan Hudson, 2007: 106):

“Culture consist in patterned ways of thinking, feeling, and reaction, acquired and transmitted mainly by symbols, constituing the distinctive achievements of human group, including their embodiments in artifacts, the essential core of culture consist of traditional (i.e, historically derived and selected) ideas and especially their attached values”

Konsep budaya yang terintegrasi dalam studi hubungan internasional dapat dikaitkan dengan sejarah perkembangan diplomasi. Posisi budaya dalam sebuah diplomasi adalah dimensi dalam politik luar negeri. Bahkan budaya telah diakui sebagai alat dalam diplomasi yang digunakan untuk mencapai tujuan negara. Terdapat hubungan sebab akibat antara budaya dan hubungan internasional. Keduanya bisa menjadi variabel-variabel yang signifikan dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional. Dalam konteks ini, budaya tidak hanya dianalisis sebagai dimensi dalam politik luar negeri saja, melainkan terintegrasi sebagai faktor dalam politik luar negeri (Depkat, 2004: 177).

Budaya sebagai suatu pendekatan dalam studi hubungan internasional dapat dikaitkan dengan kognitif, refleksi, maupun intepretasi yang mengintegrasikan praktek-praktek kebudayaan, sistem kepercayaan, pemetaan terhadap mental dan citra, serta nilai-nilai dan norma yang dianalisiskan dalam proses pembuatan keputusan. Dalam kajian diplomasi pun, diplomasi kebudayaan dibedakan dengan strategi politik. Budaya dipahami sebagai alat dalam politik luar negeri, sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan-kepentingan diplomatik. Strategi politik berada di luar konteks diplomasi kebudayaan, oleh karenanya strategi politik tidak bisa dikatakan sebagai budaya (Depkat, 2004: 177).

Budaya sebagai pendekatan dalam hubungan internasional didefinisikan sebagai “system of meaning” yang memberikan pengetahuan mengenai kehidupan masyarakat. Dengan demikian, budaya sebagai pendekatan akan memberikan fakta-fakta dalam menjelaskan pola tingkah laku yang sesuai dengan lingkungannya. Clifford Geertz mengatakan budaya sebagai pendekatan dalam hubungan internasional adalah “a web of significance” yang menekankan pada segala aspek perilaku manusia. Kemudian, aspek-aspek perilaku yang demikian, memberikan suatu gambaran kognitif, afektif, serta evaluatif terhadap fenomena politik. Sama pentingnya juga untuk memahami budaya sebagai pendekatan dalam hubungan internasional adalah dengan kajian sosiologi, karena akan memberikan pemahaman terhadap sistem-sistem yang dianut oleh suatu masyarakat, termasuk pada struktur-struktur pola tindakan sosial. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk memahami aktor dengan melihat konteks strukturnya melalui analisis setiap tindakan dengan komunitas epidemik (Depkat, 2004: 178).

Meskipun demikian, praktek budaya dalam memberikan pemahaman lintas budaya antara pemuda Indonesia dan pemuda Jepang banyak dilakukan dalam bentuk bentuk “high culture”. Setidaknya itulah realitas nyata yang banyak dilakukan oleh kedua negara dalam memperkenalkan negaranya kepada pemuda negara tujuannya.

Keterlibatan Pemuda dalam Sebuah Hubungan Diplomatik

Keterlibatan pemuda Indonesia dan Jepang dalam hubungan Indonesia dan Jepang sudah berjalan cukup lama seiring dengan awal mula hubungan diplomatis Indonesia – Jepang. Meskipun hubungan Indonesia dan Jepang pernah berada pada fase yang buruk akibat kependudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1941 hingga 1945, namun hubungan diplomatik yang dibuka tahun 1958 menjadi awal terang bagi hubungan Indonesia – Jepang. Hubungan diplomatis Indonesia Jepang diawali dengan Perjanjian damai antara kedua negara serta Perjanjian Kompensasi Perang yang diberikan Jepang kepada Indonesia (www.thejakartapost.com, diakses 3 April 2010).

Teori diplomasi publik berkembang sebagai suatu upaya untuk menggantikan diplomasi tradisional yang menekankan pada peran dominan antar negara atau pemerintah dalam melakukan diplomasi. Diplomasi publik dapat dikatakan sebagai suatu komunikasi yang dilakukan oleh suatu negara terhadap publik dari negara lain, ataupun komunikasi antar publik suatu negara dengan negara lain. Beberapa teori definisi melihat bahwa diplomasi publik merupakan sebagai suatu konsep yang menawarkan “mutual understanding” antar masyarakat berbeda negara. Oleh sebab itu, diplomasi publik digunakan untuk mempengaruhi persepsi maupun sikap dari publik negara lain terhadap kebijakan suatu negara yang melakukan diplomasi publik tersebut. Berkembangnya teori diplomasi publik, karena muncul suatu fenomena bahwa suara publik dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara (Signitzer dan Coombs dalam kutipan Melissen, 2007: 3).

Dalam suatu hubungan diplomatis, masing-masing negara memiliki kepentingan masing, sehingga melaluinya negara mencapai kepentingannya dari negara partner diplomatiknya. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori diplomasi publik pada paragraf sebelumnya, dominasi negara untuk mencapai kepentingan dalam suatu hubungan diplomatik sepertinya bergeser dengan melibatkan masyarakat. Pemuda sebagai bagian dan unit dari masyarakat merupakan kelompok sosial yang sesuai untuk mengisi hubungan diplomatik tersebut. Dalam sebuah hubungan diplomatis, kebijakan negara partner menjadi salah satu fokus penting yang perlu diperhatikan. Akibatnya, tak jarang pula bahwa muncul sebuah kemungkinan-kemungkinan salah pemahaman terhadap kebijakan negara partner. Oleh karena ini proses diplomasi sangatlah penting sebab hal ini akan membantu untuk memberikan informasi atau upaya pemahaman dalam sebuah hubungan diplomatik. Upaya pemahaman dalam sebuah kebijakan negara partner inilah yang kemudian membutuhkan objek yang tepat. Memang diplomasi publik tidak dapat dipisahkan dari upaya pembentukkan citra. Pemuda lah yang kemudian menjadi salah satu objek dalam sebuah pola parktek-praktek diplomasi publik yang ditujukan untuk memberikan pemahaman terhadap negara partner maupun memberikan citra yang ingin dicapai oleh negara partner dari publik, termasuk pemuda.

Dalam sebuah hubungan diplomatis Indonesia – Jepang, diakui memang banyak melibatkan pemuda. Keberadaan pemuda dalam hubungan diplomatis ini kemudian menjadi hal yang penting mengingat kategori Indonesia dan Jepang yang berbeda. Jepang adalah negara maju dan memiliki kekuatan ekonomi dunia, sementara tidak demikian dengan Indonesia. selain pada permasalah ketegori antara negara maju dan negara berkembang, perbedaan budaya antara kedua negara yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa sebuah hubungan diplomatis antara Indonesia – Jepang perlu dibangun. Interdependensi antara kedua negara mendorong kedua negara untuk saling berkontak ataupun berkomunikasi satu sama lain. Perbedaan budaya bisa jadi menjadi salah satu faktor yang bisa menghambat kerjasama tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan kuat mengapa kemudian diplomasi kebudayaan adalah ujung dari diplomasi publik. Karena diplomasi publik dapat memberikan suatu pemahaman lintas budaya. Berkaitan dengan pemudanya, tak jarang pula bahwa kedua negara memiliki sifat dan karakter budaya yang berbeda. Pendekatan suatu dipomasi publik tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan karateristik maupun budaya pemuda setempat.

Keterlibatan pemuda Indonesia dan Jepang dalam hubungan diploamtis kedua negara memang didorong oleh kedua negara karena sama-sama meyakini akan pentingnya hubungan diplomatis kedepan. Hal ini berarti bahwa hubungan diplomatis ini akan diharapkan dapat dipertahankan hingga masa depan melalui pemahaman hubungan diplomatis kepada pemuda kedua negara. Peran pemuda dalam hubungan diplomatis Indonesia – Jepang sangat terlihat dalam pidato kedua Kepala Pemerintahan dalam memberikan sambutan dalam peringatan 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia – Jepang. Dalam pidatonya, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 5 April 2010) mengatakan bahwa:

“Hubungan Indonesia – Jepang telah memasuki babak baru dengan ditandatanganinya “Kemitraan untuk Tantangan-Tantangan Baru” tahun 2005. “Kemitraan Strategis bagi Masa Depan yang Damai dan Sejahtera” tahun 2006. yang kemudian diperkokoh dengan “Persetujuan Kemitraan Ekonomi” tahun 2007. Saya Mendorong semua pihak di Indonesia dan Jepang untuk terus mengisi dan memacu implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang bersejarah tersebut”.

Keberadaan dan pentingnya peran pemuda dalam hubungan diplomatis Indonesia tidak hanya diungkapkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Jepang mendukung dan bahkan memperkuat wacana tersebut seperti yang nampak dalam provisional text pidato Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fukuda, dalam peringatan 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia – Jepang (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 5 April 2010):

“Diantara Indonesia dan Jepang, sudah lama dibangun hubungan persahabatan di berbagai bidang secara aktif, antara lain politik, ekonomi, budaya, dan olahraga, yang berasaskan hubungan dari hati ke hati. Saya merasa amat berbahagia jikalau Tahun Persahabatan ini akan menjadi momentum yang bermakna dalam meningkatkan dan memperdalam hubungan antara kedua negara menuju masa depan, sehingga persahabatan yang disertai saling pengertian lintas generasi akan diteruskan ke genarasi mendatang”.

Posisi dan peran letak generasi muda dalam sebuah hubungan diplomatis tidak dapat dilepaskan dari persepsi generasi muda tersebut terhadap suatu hubungan diplomatis. Ketika suatu generasi muda mengkontribusikan perannya atau memposisikan dirinya tergantung dari bagaimana persepsi ini terbentuk dalam dirinya. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspetasi, motivasi, dan memori (Desiderato 1976: 129 dalam kutipan Rakhmat, 2003: 51).

Terbentuknya sensasi sebelum persepsi bukanlah hal yang muncul secara tiba-tiba. Ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi dalam pembentukkan sensasi tersebut. Memori yang terekam pada seseorang akan terasosasi dan terprojeksi. Hal ini merupakan sebuah usaha seseorang untuk melihat kembali rekaman memorinya untuk memproses stimuli yang ditangkap. Objek akan mendapatkan atensi atau perhatian berusaha untuk dinilai berdasarkan kepentingan, pengetahuan, dan pengalaman empirisme seseorang. Fungsi alat indera manusia yang pada akhirnya memiliki peranan penting dalam menangkap stimuli objek dan berusaha untuk memfokuskan perhatiaanya terhadapnya (Maurice, 2002: 13-57).

Apabila melihat dari berbagai definisi persepsi yang dijelaskan diatas, maka diakui pula bahwa self-expereince, knowledge, maupun persobal character dari seorang pemuda berpengaruh terhadap pembentukkan persepsi. Terhadap posisi dan peran dalam suatu hubungan diplomatis, self-expereince dan knowledge pemuda pada suatu hubungan diplomatis memberikan suatu kontribusi latar belakang yang akan mempengaruhi persepsinya. Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan yang dapat dipergunakan bahwa pola diplomasi publik yang diberikan kepada pemuda adalah untuk mendorong bentuk pencitraan suatu negara kepada pemuda. Jika pemuda memiliki pengalaman baik dalam suatu hubungan diplomatis maka kemungkinan memunculkan persepsi yang baik pula. Tetapi kemudian, bukan itu saja yang menjadi masalah dalam menggambarkan posisi dan peran pemuda dalam hubungan diplomatis Indonesia – Jepang. Meskipun keduanya secara aktif melaksanakan diplomasi publik dengan sasaran pemuda, namun knowledge dan self-experiences itu juga akan terbentuk dari latar belakang lainnya seperti karakter budaya, pendidikan, dan orientasi.

Indonesia dan jepang seperti yang dijelaskan diatas, memiliki perbedaan karakter. Karena pemuda adalah bagian atau unit sosial dalam suatu masyarakat, tentu karakter ini akan memunculkan persepsi yang beda pula. Pemuda di Indonesia dan pemuda di Jepang memiliki pengalaman yang berbeda dalam menyentuh suatu perihal hubungan diplomatis. Bahkan ditingkat Indonesia sendiri, terdapat kemajemukan di tingkat pemuda, baik secara pendidikan maupun pengalaman dan pengetahuan akan suatu hubungan diplomatis. Tingkat attention dalam persepsi yang dijelaskan dal teori persepsi membuktikan bahwa perhatian pemuda terhadap pemuda terhadapn suatu hubungan diplomatis tentu dapat menjamin pengetahuan akan suatu hubungan diplomatis tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan pemuda lainnya yang tidak merasakannya. Semuanya akan tergantung pada pengalaman pemuda itu sendiri melalui sebuah proses melihat, menyentuh, maupun merasakan.

Sumbangan Empiris Pertukaran Pemuda terhadap Hubungan Diplomatis

Sumbangan empiris terhadap hubungan diplomatis antara Indonesia dan Jepang dikatakan Joko Nugroho, Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dalam personal interview, melalui program pertukaran pemuda adalah terbentuknnya asosiasi-asosiasi maupun perkumpulan lainnya keberadaan asoasiasi-asosiasi maupun perkumpulan-perkumpulan ini berperan dalam mengenalkan profil negara Jepang kepada kalangan pemuda di Indonesia. Begitupun mereka yang pernah mengikuti program di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, di Indonesia dapat ditemukan perkumpulan alumni mahasiswa Jepang, Nippon Maru, Nakasone, dan lainnya. Di Jepang, juga terdapat perkumpulan budaya Indonesia, misalnya Sekar Jepun, asosiasi alumni beasiswa Darma Siswa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, dan lainya (Joko Nugroho 2010, pers. comm).

Dengan adanya asosiasi-asosiasi maupun perkumpulan tersebut, maka secara aktif mereka membantu dalam memperkenalkan budaya kedua negara ke masing-masing negara mereka. Posisi mereka adalah dengan membantu aktifitas-aktifitas pemerintah dalam memperkenalkan budaya kedua negara. Seperti yang dikatakan oleh Bonifiatus Agung Herindra, Kepala Subdit III Direktorat Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dalam personal interview, bahwa selain terlibat dalam kegiatan untuk membantu pemerintah dalam penyelenggaraan yang berkegiatan untuk memperkenalkan budaya kedua negara, asosiasi-asosiasi tersebut juga menyelenggarakan kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan budaya kedua negara, sebagai contoh dari kegiatan mereka, misalnya Japan Festival di Blok M Jakarta, Indonesia pada Juli 2010 dan Festival Budaya “Beauty of Indonesia” di Tokyo, Jepang pada Agustus 2009. Keberadaan-keberadaan kegiatan dan aktifitas-aktivitas semacam itu, sekaligus bentuk sosialisasi yang mendekatkan hubungan masyarakat kedua negara melalui bentuk-bentuk budaya (Bonifiatus Agung Herindra 2010, press comm.).

Kesimpulan

Studi hubungan internasional yang terus berkembang, memiliki suatu posisi tersendiri agar dilihat dari berbagai studi lain yang berkaitan seperti sosiologi, globalisasi, transnasional, maupun konsep dan pendekatan budaya. Perkembangan interaksi dalam hubungan internasional memberikan suatu argumentasi tersendiri bahwa negara bukan lagi menjadi salah satu aktor dalam studi hubungan internasional. Lahirnya kemajuan manusia dalam bidang teknolgi maupun informasi memberikan suatu alasan tersendiri bahwa masyarakat dapat memainkan peran dalam hubungan internasional. Inilah yang kemudian menjadi suatu alasan mengenai penulisan posisi dan peran generasi muda dalam membangun hubungan diplomatis Indonesia – Jepang. Pemuda dikatakan sebagai unit sosial dan bagian dari suatu masyarakat. Jika demikian terdapat suatu posisi dan peran dari suatu generasi muda dalam membangun hubungan diplomatis tersebut.

Posisi dan peran generasi muda dalam hubungan internasional adalah turunan dari persepsi yang bersangkutan sendiri. Bagaimana generasi muda memposisikan dirinya akan tergantung dari bagaimana persepsi yang terbentuk di diri pemuda. Lebih lanjut lagi, persepsinya ini akan dipengaruhi oleh berbagai unit pengalaman seperti self-experiences, knowldege, dan personal character. Namujn pengetahuan dan pengalaman yang tinggi terhadap suatu hubungan diplomatis belum tentu pula dapat menjamin generasi muda dapat menentukan sendiri peran dan posisianya. Kembali meminjam teori persepsi, maka terdapat pula faktor lain seperti perhatian, yaitu sejauh mana dan bagaimana generasi muda memperhatikan hubungan diplomatis tersebut.

Hubungan diplomatis Indonesia – Jepang terbangun sejak lama. Tentunya hubungan diplomatis ini tidak terlepaskan dari sifat saling ketergantungan antar kedua negara. Apalagi kedua negara memiliki potensi dan karakter yang berbeda satu sama lain. Tentunya hubungan diplomatis ini perlu didukung oleh berbagai elemen dari sutau negara, tidak terkecuali pemuda itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi ruang penting dalam memasukan unsur diploamsi publik. Karena aktivitas diplomasi publik yang berjalan ditujukan untuk menawarkan saling pemahaman antar masyarakat kedua negara. Generasi muda adalah salah satu unit penting yang dilihat dalam hubungan diplomatis ini. Apabila kedua negara merasa bahwa hubungan antar Indonesia – Jepang berjalan hingga depan karena pentingnya kerjasama tersebut, maka memunculkan persepsi yang baik di tingkat pemuda menjadi penting.

Ketika kedua negara, Indonesia dan Jepang sama-sama mengakui bahwa generasi muda memiliki posisi dan peran dalam hubungan diplomatis tersebut, semuanya dikarenakan kedua negara memiliki harapan dan kepentingan kedepan. Hubungan dan saling ketergantungan antar kedua negara hingga masa depan memerlukan bibit-bibit persepsi yang baik di tingkat pemuda. Inilah yang kemudian hal utama keterkaitan antara hubungan diplomatis dengan peran dan posisi generasi muda. Agar hubungan diplomatis tersebut dapat berjalan, penanaman terhadap self-experiences maupun pengetahuan akan hubungan diplomatis. Sehingga posisi dari generasi muda tersebut banyak menjadi objek dari suatu hubungan diplomatis. Hal tersebut mengenai bagaimana penanaman pemahaman terhadap generasi muda itu ditanam. Meskipun posisi pemuda dalam hubungan diplomatis Indonesia – Jepang banyak terlihat sebagai objek, namun hal ini mampu membantu dalam membangun hubungan diplomatis tersebut. Faktor kesuksesan diplomasi publik tentu saja berperan. Posisi yang mampu membangun hubungan diplomatis tersebut dikarenakan muncul pemahaman positif terhadap hubungan diplomatis. Sedangkan peran dari generasi muda dalam hubungan diplomatis Indonesia – Jepang adalah unit masa depan yang menjalankan hubungan diplomatis tersebut. Tentunya sebelum berperan sebagai unit masa depan dalam hubungan diplomatis tersebut, kajian terhadap posisi pemuda perlu ditelaah terlebih dahulu untuk mengetahui bagiaman generasi muda memiliki ruang dan peran dalam membangun hubungan diplomatsi Indonesia – Jepang. Meskipun kedua negara memiliki karakter budaya dan pemuda yang berbeda, namun pola diplomasi publik yang baik dapat menjamin unit masa depan tersebut dapat konsisten dalam membangun hubungan diplomatis.

Daftar Pustaka

Buku
Arndt, Richard T. (ed). (2007) The Public Diplomacy Reader. Washington: The Institute of World Politics Press.
Cummings, Milton C. Jr, (2003) Cultural Diplomacy and the United States Government: A Survey. Washington D. C.: Center for Arts and Culture.
Depkat, Volker. (ed). (2004) Culture and International History. New York: Berghahn Books.
Giddens, Anthony (1990) The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.
Haas, Ernst B. Dan Whiting, Allen S. (1956) Dynamics of International Relations. New York: Mcgraw-Hill Book Co., Inc.
Hudson, Valerie M. (2007) Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Masdiana, et.al. (2008) Peran Generasi Muda dalam Ketahanan Nasional. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.
May, Mike (2007) Sensation and Perception. New York: Chelsea House Publishers.
Melissen, Jan (2007) The New Public Diplomacy: Between Theory and Practice. New York: Palgrave Macmillan.
Merleau-Ponty, Maurice (2002) Phenomenology of Perception. New York: Routledge and Kegan Paul.
Rakhmat, Jalaludin (2003) Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sophiaan, Manai (2006) Nasionalisme dan Sumpah Pemuda dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda, Cet. 2. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda
Sukartiko, Rachmat, H. (2005) Conference Language. Bekasi: Visipro.
Susilo, I. Basis. (2007) Pemuda dan Politik: Antara Nasionalisme dan Globalisasi. Sidoarjo: Karolmedia.
Zebrowitz-Zebrowitz-McArthur, Leslie. (ed). (1988) The Cross-Cultural Understanding to Social Psycology. London: Sage Publications.
Internet
East Asia Community: A New Commitment To Asia (2010) [Diakses 19 April 2010]. http://www.gov-online.go.jp/eng/publicity/book/hlj/img20100101.html
Apakah “Tahun Persahabatan Indonesia – Jepang 2008” (2007) [Diakses 3 April 2010]. http://www.id.emb-japan.go.jp/ijff_apa_id.html
Dubes Jepang Ingin Membuat Hubungan Jepang – RI lebih istimewa (2010) [Diakses 29 April 2010] http://international.okezone.com/read/2010/03/15/18/312557/18/dubes-jepang-ingin-membuat-hubungan-jepang-ri-lebih-istimewa
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 mengenai Kepemudaan (2009). [Diakses 3 April 2010] http://www.kemenpora.go.id/perundangan_preview.php?id_perundangan=3
Youth Population (2005). [Diakses 13 April 2010]. http://www8.cao.go.jp/youth/english/whitepaper/2005/1-1.html
Launa (2007) Pemuda dan Agenda Reformasi. [Diakses 3 April 2010]. www.els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemuda%20dan%20agenda.pdf
Sejarah Kantor Jakarta (2010) [Diakses 29 April 2010] http://www.jpf.or.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=18&Itemid=31
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo (2010) Pegelaran Beauty of Indonesia di Hamamatsu Pererat Hubungan Masyarakat Indonesia dan Jepang. [Diakses 19 April 2010].http://www.indonesianembassy.jp/index.php?option=com_content&task=view&id=316&Itemid=1
Indonesia – Japan Joint Cultural Perfrmances Pukau Publik Osaka (2009) [Diakses 28 April 2010] http://tabloiddiplomasi.com/index.php/previous-isuue/45-oktober-2008/323-indonesia--japan-joint-cultural-performances-pukau-publik-osaka.html
Wanadi, Jusuf (2008) Japan – Indonesia Relations: a 50 Years Journey. [Diakses 3 April 2010]. http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/23/japanindonesia-relations-a-50-year-journey.html
Pidato Perdana Menteri Yasuo Fukuda. Provosional Translation (2008) [Diakses 5 April 2010]. http://www.id.emb-japan.go.jp/ijff_apa_id.html
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008) [Diakses 5 April 2010]. http://www.id.emb-japan.go.jp/ijff_apa_id.html

No comments:

Post a Comment