Yang Ming Shan

Yang Ming Shan
Dream

Friday, January 7, 2011

Teori Implementasi Kebijakan dalam Perspektif Kebijakan Publik

Pendahuluan
Setiap negara dan pemerintahannya tidak terlepas dari suatu kebijakan publik. Charles O. Jones mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standar, proposal, dan grand design. (Charles O. Jones).
Dalam proses kebijakan publik, pemerintah tidak bisa melepaskan faktor lingkungan publik yang merupakan input, proses, dan sekaligus output kebijakan. Dimana proses kebijakannya adalah yang pertama isu kebijakan. Isu kebijakan merupakan agenda pemerintah. Isu ini adalah respon pemerintah dari input yang diberikan oleh lingkungan publik. Hal ini terkait tentang hal-hal apa yang menjadi isu di masyarakat dan direspon oleh pemerintah sebagaib sesuatu yang harus diagendakan untuk dijadikan kebijakan publik. Kedua adalah formulasi kebijakan, yaitu bagaimana pemerintah memformulasikan berbagai isu tersebut sebelum dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan publik. Dua tahap proses yang pertama ini adalah proses politik. Yang artinya tahap-tahap tersebut tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politik. Ketiga adalah implementasi kebijakan, yaitu implementasi kebijakan yang telah diformulasikan dan diputusakn oleh pemerintah yang berwenang. Keempat atau yang terakhir adalah kinerja kebijakan, merupakan sebuah evaluasi kebijakan yang telah diformulasikan dan diterapkan dalam masyarakat. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah kebijakan tersebut telah berjalan efektif. Evaluasi kebijakan tersebut merupakan sebuah output kebijakan yang juga berfungsi sebagai umpan balik terhadap proses input kebijakan selanjutnya. Lingkungan kebijakan disini adalah masyarakat yang menerima dan melaksanakan kebijakan tersebut. Tahap kedua dan tahap ketiga merupakan sebuah proses kebijakan. Yaitu bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan oleh pemerintah dari input dan kemudian implementasinya.

Perkembangan Studi Implementasi Kebijakan
Studi implementasi kebijakan mulai berkembang sejak tahun 1960, ini adala era ‘pascakeputusan’ dari kebijakan publik. Pergeseran studi ini terjadi karena tampak jelas bahwa pembuatan kebijakan di banyak bidang ternyata tidak dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan, atau tujuan yang tidak dapat didefinisikan dengan baik, hal inilah yang menyebabkan mahasiswa kebijakan public menggeser perhatiannya dari input dan proses menuju ke output dan hasil.
Studi implementasi adalah studi perubahan: bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik ; bagaimana organisasi di diluar dan di dalam system politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain ; apa motivasi mereka bertindak seperti itu, koma dan apa yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda. (Jenkins, dalam Parsons, 2001 : 463). Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau disetujui, seperti yang dikatakan oleh Anderson: “kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat dia sedang dibuat” (Anderson, dalam Parsons, 2001 : 464). Sama seperti “politik”, politik tidak hanya berhenti ketika keputusan atau output berhasil dibuat, politik juga tidak hanya berbicara tentang bagaimana proses itu dibuat tetapi juga implementasinya di dalam sistem politik tersebut.
Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam implementasi kebijakan. Di mana implementasi kebijakan Merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan (arti luas). Implementasi kebijakan meliputi proses dari input, output, dan outcomes. Sehingga dari implementasi kebijakan tersebut, mengubah keputusan atau kebijakan menjadi tindakan operasional
Implementasi kebijakan dimaksudkan untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, serta apa yang timbul dari program kebijakan itu. Di samping itu implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan. Implementasi sendiri diartikan sebagai cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tujuan yang juga telah diformulasikan atau yang menjadi pertimbangan dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Output dari kebijakan publik bisa menjadi umpan balik bagi perumusan suatu kebijakan, sehingga kebijakan publik tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan publik penjelas. Yang mencakup dalam implementasi kebijakan publik adalah program yang dibuat terkait kebijakan tersebut. Lalu proyek-proyek kebijakan tersebut. Kemudia pengadaan kegiatan yang berkaitan dengan proses implementasi kebijakan tersebut dan yang terakhir adalah pemanfaat. Dari implementasi tersebut, kita lihat bahwa, apakah kebijakan public tersebut bermanfaat atau sebaliknya.
Implementasi kebijakan meliputi: (1) perilaku badan atau lembaga administratif yang bertanggung jawab terhadap suatu program. Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah badan-badan atau lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses perumusan hingga pengimplementasian kebijakan publik tersebut. (2) target group merupakan pengertian dari, siapakah yang menjadi sasaran-sasaran dibentuknya kebijakan publik tersebut, sehingga kelompok-kelompok tersebut menjadi target yang menerima implementasi kebijakan. (3) jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Mengingat bahwa dalam implementasi ada faktor-faktor prndukung lainnya yang tidak bisa diabaikan dan harus dipertimbangkan baik saat perumusan maupun implementasi kebijakan tersebut. (4) yaitu dampak, dari implementasi kebijakan publik, dampak apa yang ditimbulkan, sehingga kita mengetahui apakah kebijakan tersebut berjalan efektif dan bermanfaat.

Tujuan Studi Implementasi Kebijakan
Setelah suatu program dirumuskan dan dampak – dampak yang timbul dari kebijakan tersebut dirasakan maka perlu adanya suatu pemahaman akan apa yang terjadi. Disinilah studi implementasi akan digunakan untuk memahami apa yang terjadi pada saat maupun setelah kebijakan tersebut dilaksanakan. Menurut Jenkins studi implementasi adalah studi perubahan : bagaimana peubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan di dalam system politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi – motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda (Parsons 2001: 463). Sehingga studi implementasi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas atau kegiatan – kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi ini bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap salah satu atau lebih kekuatan – kekuatan yang menentukan dampak kebijakan (Winarno 2007: 147)
Lebih lanjut menurut Winarno, studi implementasi ini ada untuk menutupi kekurangan yang ada, seperti kekurangan dalam usaha memahami proses kebijakan dan mendorong adanya saran yang kurang baik pada para pembentuk kebijakan (Ibid :148). Sehingga bila dilihat dari sisi sebaliknya, maka tujuan dari implementasi kebijakan untuk menutupi dua kekurangan diatas, yaitu untuk lebih memahami proses kebijakan dan mendorong saran – saran yang lebih baik bagi para pembentuk kebijakan.
Bila melihat dari analisis kebijakan pada era 1970-an dan era 1980-an dapat dipahami tujuan dari implementasi kebijakan ini lebih mendalami faktor – faktor yang ada dalam kebijakan publik. Bila pada era tersebut analisis kebijakan melupakan dampak birokrasi dan penyedia layanan terhadap efektivitas suatu kebijakan maka studi implementasi akan menutupi kekurangan analisis kebijakan tersebut. Secara sederhana sebagai sebuah cara untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang menjadikan implementasi berhasil (Parsons 2001: 464-5). Bila dibandingkan dengan Sabatier dan Mazmanian, terdapat detail akan implementasi kebijakan ini. Mereka melihat implementasi sebagai sebuah problem control dan organisasi sehingga studi implementasi akan bertujuan untuk menangkap elemen – elemen seperti : pendefinisian objek dan perumusan rencana; jalannya monitoring rencana; analisa akan apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi; dan perubahan – perubahan yang ada untuk memperbaiki kegagalan (Ibid: 476).

Model-model Implementasi Kebijakan
Adapun model-model implementasi kebijakan dapat kita kutip dari beberapa ahli, seperti: Van Meter & Van Horn, Mazmanian & Sabatiar, Grindle, dan George Edward.

Model Van Meter dan Van Horn
Model ini merupakan model yang paling klasik, diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn pada tahun 1975. Model ini menyatakan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah:
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi
2. Karakteristik dari agen pelaksana/implementor
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4. Kecenderungan dari pelaksana/implementor












Model Mazmanian dan Sabatier
Model ini dinamakan model Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis), diperkenalkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier pada tahun 1983. Mereka mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka:
“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives’ orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a variety of ways, ‘structures’ the implementation process”.
Proses implementasi kebijakan kebijakan diklasifikasikan ke dalam tiga variabel yaitu:
Variabel independen (mudah tidaknya masalah dikendalikan)
Variabel intervening (kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi)
Variabel dependen (tahapan dalam proses implementasi)















































Model Grindle
Model ini diperkenalkan oleh Merilee S. Grindle pada tahun 1980. Model ini ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya, di mana implementasi kebijakan dilakukan setelah kebijakan ditransformasikan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Model ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
































Model Edward
George C. Edwards melihat implementasi kebijakan sebagai sebuah studi yang krusial terutama untuk public administration dan public policy. Bagi Edward, implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi – konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards memulai dnegan dua buah pertanyaan dasar: prakondisi – prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan – hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, dia mengajukan empat variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik, yaitu : komunikasi, sumber – sumber, kecenderungan atau tingkah laku, dan struktur birokrasi. Menurut Edwards, keempat variabel ini bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan.
Secara umum, Edwars membahas tiga hal penting dalam proses koomunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi dan kejelasan. Faktor pertama adalah trasmisi, dimana sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Faktor kedua yaitu konsistensi, yang menekankan pada pelaksanaan – pelaksanaan yang konsisten dan jelas sehingga memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Dan faktor yang ketiga adalah kejelasan, yang menjadikan petunjuk – petunjuk kebijakan sebagi sesuatu yang jelas untuk diterima oleh para pelaksana kebijakan. Menurut Edwards, dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka dapat diambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan – keputusan kebijakan dan perintah – perintah tersebut dilaksanakan. Dan dalam situasi seperti ini, penyimpangan transmisi merupakan sebab utama bagi kegagagalan implementasi.
Sumber – sumber merupakan faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Sumber tersebut meliputi : staf yang memadai serta keahlian – keahlian yang baikuntuk melaksanakan tugas – tugas mereka, wewenang dan fasilitas – fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul – usul diatas kertas guna melaksanakan pelayanan – pelayanan publik. Staf yang dapat mengimplementasikan kebijakan dilihat dari sisi kuantitas dan kualitas yang dapat menjadi administrator – administrator yang kompeten. Dari sisi informasi, terdapat dua bentuk yang harus diperhatikan yaitu informasi mengenai bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, dan sebagai data tentang ketaatan personil – personil lain terhadap peraturan pemerintah. Dan bentuk lain dari sumber adalah wewenang yang berhubungan pada keterbatasan atau kekurangan bagi pejabat untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Dan yang terkahir adalah fasilitas – fasilitas fisik untuk memjembatani pelaksanaan kebijakan tersebut, misal sebagai tempat koordinasi, perlengakapn dan perbekalan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber – sumber ini sebagai bentuk realisasi dari perencanaan kebijakan yang telah dibuat.
Pada faktor yang ketiga terdapat kecenderungan – kecenderungan, yang menekankan pada tanggapan – tanggapan dari para pelaksana kebijakan. Jika pelaksana kebijakan menanggapi baik suatu kebijakan, maka dapat diharapkan adanya dukungan dan kemungkinan besar terjadi pelaksanaan kebijakan yang dimaksud. Demikian pula jika terjadi perbedaan persepsi antara para pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dan faktor yang terkahir, yaitu Struktur Birokrasi yang secara keseluruhan menjadi badan pelaksana kebijakan. Karena terdapat banyak ragam struktur birokrasi maka hal ini akan berpengaruh pada: perubahan – perubahan dalam kebijakan, memboroskan sumber – sumber, menimbulkan tindakan – tindakan yang tidak diinginkan, menghalangi kondisi, membingungkan pejabat – pejabat pada yuridiksi tingkat yang lebih rendah, menyebabkan kebijakan – kebijakan berjalan dengan tujuan yang berlawanan, dan menyebabkan beberapa kebijakan menempati antara keretakan – keretakan batas – batas organisasi.

Studi Kasus
Pengimplementasian kebijakan publik sudah sepatutnya mendapatkan perhatian khusus, seperti sebagaimana yang dikatakan Anderson tahap implementasi itu sendiri adalah bagian dari pembentukan kebijakan public. Contoh nyata dari sulitnya pengimplementasian kebijakan publik adalah implementasi kebijakan (Undang-Undang) ketenagakerjaan Indonesia.
Pasal 7 Undang-Undang TKI ayat 5 dan 6 mengatakan bahwa, negara/pemerintah;
1. Melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
2. Memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.
Melihat kebijakan di atas, menunjukkan kesadaran pemerintah akan kewajiabannya untuk melindungi, memelihara, dan mangayomi tenaga kerja Indonesia sebagai hal yang perlu. Kesadaran pemerintah ini tercermin dalam undang-undang tersebut, akan tetapi pengoperasionalisasian kebijakan tersebut tidak seperti yang seharusnya atau idealnya. Banyaknya kasus-kasus penganiayaan TKI di Malaysia ataupun negara-negara Arab menunjukkan bahwa adanya pergeseran definisi di lapangan. Studi implementasi berbicara mengenai apa saja yang menjadi faktor-faktor penghambat dan katalis dari terimplementasinya sebuah kebijakan. Dalam kasus ini studi implementasi akan menganalisis mengapa fakta yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan apa yang yang menjadi keputusan kebijakan pada awalnya. Dalam masalah TKI ini pemerintah ternyata kurang mampu untuk mengimplementasikan kebijakannya sesuai dengan output pada awalnya. Berangkat dari sini (mungkin lebih tepatnya sebagai kegagalan operasionalisasi kebijakan) akan ada evaluasi yang kemudian akan menjadi umpan balik untuk menjadi agenda kebijakan selanjutnya.

Referensi
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Alexmedia Competindo.
Parsons, Wayne. 2001. Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan (Terj. Triwibowo Budi Santoso). Jakarta: Kencana.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Kepentingan Politik Jepang dalam Official Development Assistance (ODA) di Indonesia

Kepentingan Politik Jepang dalam Official Development Assistance (ODA) di Indonesia

Abstract:
Japan’s ODA (Official Development Assistance) is second largest aid program from developed country to developing countries. Japan’s economic power is the important factor of Japan to achieve its interest in international relations. Indonesia is one of strategic partner of Japan in international relations due to Indonesia’s natural resources and geographic position of Indonesia in maritime track of East Asia Region. Hence, Japan has to keep its good relationship with Indonesia. Japan’s ODA is one of Japan’s strategic plans to achieve its interest in Indonesia. Japan’s ODA has done since 1954, in spite of Japan-Indonesia Diplomatic Affairs was opened in April 1958. In the other hand, Indonesia is the biggest recipient of Japan’s ODA while for Indonesia, Japan is the biggest donor. Indonesia’s Government recognized that Japan is also strategic partner for Indonesia due to Japan role in bilateral economic relationships and Japan big values of investment. Using dependence and foreign aid theory, we would find how Japan’s political interest in ODA towards Indonesia? Is it main factor in Japan-Indonesia good relationship?

Keywords: Japan, Indonesia, Official Development Assistance (ODA), Political Interest

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II (PD II) membuat kerusakan yang hebat bagi perekonomian Jepang. Oleh karena itu, memasuki era Perang Dingin, Jepang di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Yoshida menolak himbauan Amerika Serikat (AS) untuk terlibat dalam Perang Dingin. Alasan Jepang untuk menolak himbauan AS dikarenakan Jepang ingin membangun ekonomi dalam negerinya. Pembangunan ekonomi dalam negeri Jepang ternyata membawa Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Akibatnya, sepanjang dekade 1950an Jepang mulai mengalirkan bantuan ekonomi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Cipto, 2007: 182-183).
Program bantuan Jepang yang diberikan kepada negara-negara berkembang dikenal dengan Bantuan Pembangunan Pemerintah atau Official Development Assistance (ODA). ODA bisa dijelaskan sebagai bentuk bantuan dan pinjaman. Program ODA merupakan salah satu bentuk bantuan dan pinjaman dari negara-negara maju yang tergabung dalam Development Assistant Committee (DAC) of the Organization of Economic Cooperation and Development ke negara-negara berkembang. Dimana, Jepang dalam hal ini, sebagai salah satu negara pendirinya. Angka ODA Jepang adalah terbesar kedua di dunia. Di tahun 2005, angkanya mencapai total 786.1 Triliun Yen. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Jepang, maka nilai ODA hanyalah 0.91% dari Gross National Income Jepang (http://sherwintobing.com, diakses 22 Desember 2009).
Hubungan Diplomatik antara Indonesaia dengan Jepang, dibuka pada bulan April 1958. Hubungan diplomatik tersebut dimulai dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian antara Jepang dengan Indonesia (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 25 Desember 2009). Meskipun demikian, sejak tahun 1954, Indonesia telah menerima bantuan dari Jepang. Pinjaman ODA Jepang di Indonesia dalam bentuk penerimaan trainee untuk mendapatkan pelatihan di bidang industri, komunikasi transportasi, pertanian dan kesehatan. Pinjaman ODA Jepang memberikan kontribusi besar bagi Indonesia melalui bidang pengembangan sumber daya manusia, pembangunan, dan infrastruktur sosial ekonomi (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 22 Desember 2009).
Pinjaman ODA Jepang di Indonesia banyak difokuskan untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Pinjaman tersebut dibangun dalam 3 pilar utama yang dianggap dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia, seperti pembangunan berkelanjutan yang di dorong oleh sektor swasta, pembangunan masyarakat yang adil dan demokrasi, serta perdamaian dan keamanan (http://www.mofa.go.jp, diakses 22 Desember 2009).
Bentuk pinjaman ODA yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap Indonesia dapat dibagi kedalam tiga bentuk utama, yaitu: Pinjaman Yen, merupakan pinjaman dana dengan persyaratan ringan berjangka panjang dan berbunga rendah. Kedua adalah Bantuan Dana Hibah, yaitu bantuan dana yang tidak disertai dengan kewajiban untuk membayar kembali. Ketiga adalah Kerjasama Teknik, yaitu kerjasama yang diberikan untuk membantu pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Kerjasama teknik ini dilaksanakan oleh suatu badan badan pemerintah independen yang bernama Japan Intenational Cooperation Agency (JICA) (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 22 Desember 2009).
Pinjaman ODA yang diberikan Jepang kepada Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Program bantuan ODA Jepang tidak hanya ditujukan bagi Indonesia saja, melainkan negara-negara berkembang lainnya pula. Seperti yang dikutip dalam (Bahri, 2004: 43) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara penerima bantuan ODA terbesar dari Jepang.
Dalam wacana bantuan dan pinjaman internasional pun, Jepang merupakan negara donor terbesar bagi Indonesia, begitupun sebaliknya bahwa Indonesia adalah negara penerima terbesar bantuan ODA Jepang. Dalam jangka waktu 1967 hingga 1999, Indonesia telah menerima 18.6% dari total program pinjaman ODA Jepang kepada negara-negara berkembang. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia merupakan negara prioritas yang menerima dana bantuan ODA terbesar dari Jepang, dengan total 50% dari total program bantuan ODA kepada negara-negara berkembang (http://www.realityofaid.org, diakses 22 Desember 2009).

Rumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah diatas, dimana Indonesia merupakan negara penerima terbesar bantuan pinjaman ODA Jepang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kepentingan politik Jepang terhadap Indonesia melalui Official Development Assistance (ODA)?

Landasan Teoritik
Teori Ketergantungan
Hubungan antara negara maju dengan negara berkembang dapat dijelaskan dengan melihat sisi ketergantungan yang terjadi di negara berkembang terhadap negara maju. Dalam teori imperialisme, hubungan yang terjadi antara Jepang dan Indonesia dapat dikatakan sebagai hubungan antara negara “periphery”dengan negara “core”. Negara “periphery”merupakan negara yang dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol ekonominya, dan bahkan kerap kali disinggungkan terhadap aspek politiknya juga. Dari negara “periphery”tersebut, ada yang disebut dengan negara “core”, yaitu negara yang memutuskan dan mengontrol model pembangunan negara “periphery”. Hubungan antara negara “periphery”dan negara “core” dapat kita jelaskan sebagai hubungan ketergantungan. Dalam konteks ini, negara “periphery”bergantung kepada negara “core”. Sifat hubungannya adalah dominasi dan subyektif dari negara “core” terhadap negara “periphery”(Lichtheim, 1971: 9).
Jepang merupakan salah satu negara kekuatan ekonomi dunia. Dalam konteks bantuan internasional, Jepang adalah negara terbesar kedua dalam menyalurkan program bantuan luar negeri kepada negara-negara berkembang melalui ODA. Oleh karena itu, dalam hubungan ketergantungan yang terjadi antara Jepang dan Indonesia, Jepang merupakan negara “core”.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang belum memiliki kondisi ekonomi dan politik yang stabil. Sejak kemerdekaannya, pembangunan Indonesia tidak terlepas dari bantuan asing, termasuk dalam hal ini adalah Jepang. Oleh karena itu, posisi Indonesia dalam hubungan Jepang-Indonesia adalah negara “periphery”. Indonesia dikatakan demikian, karena posisi Indonesia yang bergantung terhadap bantuan pembangunan dari Jepang.
Negara “core” dapat melakukan control terhadap pembangunan ekonomi negara “periphery” karena negara “core” adalah negara maju yang memiliki kondisi ekonomi dan politik yang stabil. Sementara Negara ”periphery” dapat diasosiasikan dengan negara berkembang. Asosiasi tersebut, dikarenakan negara berkembanglah yang selama ini menerima bantuan luar negeri dari negara maju atau negara “core”.
Hubungan ketergantungan antara negara maju dan negara berkembang, digambarkan oleh Theotonia Dos Santos (dalam kutipan Balaam dan Veseth, 2008: 73) adalah suatu kondisi dimana ekonomi suatu negara diintervensi dan diekspansi oleh kehadiran negara lain. Bentuk ketergantungan yang terjadi antara negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju melakukan ekspansi ekonomi terhadap negara berkembang, sementara negara berkembang hanya dapat berrefleksi dari ekspansi tersebut, baik itu refleksi yang bersifat positive maupun refleksi yang bersifat negative.
Dengan adanya teori ketergantungan ini, kita akan melihat bagimana ketergantungan yang dialami Indonesia terhadap Jepang. Ketergantungan Indonesia terhadap Jepang dalam konteks ini adalah kebutuhan Indonesia akan bantuan ekonomi dari Jepang, yaitu Official Development Assistance (ODA). Berdasarkan situasi yang dijelaskan oleh Dos Santos, bahwa sifat ketergantungan yang ada akan memberikan refleksi negative dan refleksi positive. Sehingga dari teori ketergantungan ini, kita akan melihat refleksi positive dan negative yang terjadi pada Indonesia sebagai suatu respon terhadap pinjaman ODA Jepang.

Teori Bantuan Luar Negeri
ODA merupakan salah satu bentuk bantuan luar negeri dari negara maju, yaitu Jepang kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Teori bantuan luar negeri sendiri telah mengalami transformasi dari teori bantuan laur negeri yang berkembang di sekitar abad keduapuluh ke situasi di abad keduapuluh satu. Transformasi tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Lancaster (2008: 39) bahwa bantuan-bantuan luar negeri dari negara-negara maju diiringi dengan penekanan pada isu-isu perdagangan serta diplomasinya. Lancaster sendiri, menyebutkan ODA sebagai bantuan luar negeri yang ditujukan kepada negara-negara miskin. Lancaster menyebutkan bahwa ODA adalah bagian dari Development Assistance Committee (DAC) dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Bantuan luar negeri dapat dijelaskan pula sebagai “pembentukkan” yang berkelanjutan dari negara-negara maju terhadap negara-negara miskin berkembang dan miskin yang membutuhkan. Pembetukkan tersebut, bertujuan untuk menimbulkan sifat ketergantungaan dari negara-negara berkembang terhadap bantuan luar negeri negara maju. Bantuan luar negeri sendiri dikatakan muncul karena adanya perbedaan struktur kekuatan yang kemudian, bantuan luar negeri inilah yang menjadi prasarana untuk mempertahankan sistem kapitalisme di negara-negara berkembang (diolah dari Abbolt, 1973 dan Hayter, 1989).
Bantuan luar negeri juga dapat diasosiasikan sebagai alat yang digunakan oleh negara-negara maju untuk memperluas pasarnya. Bantuan luar negeri identikkan dengan motif yang dibawah oleh negara maju, termasuk motif perdagangan, sehingga hal ini diistilahkan sebagai “trade aid”. Bantuan luar negeri yang bermotif perdagangan ini, kerap kali muncul sebagai tindakan negara maju kepada negara berkembang agar mempermudah ekspor negara maju di negaranya. “trade aid” yang demikian juga pada kesempatan investasi yang diinginkan oleh negara maju kepada negara berkembang (diolah dari Carnoy, 1974; Rix, 1980; dan Hayter, 1989).
Dalam sistem global, bantuan luar negeri merupakan bagian yang tidak bias dipisahkan karena adanya pola kekuatan yang terstruktur (Rugumamu, 1997: 200). Bantuan luar negeri serupa dengan diplomasi, propaganda, maupun aksi militer yang ditujukan oleh suatu negara terhadap negara lain. Seperti yang diungkapkan oleh Weisman (dalam kutipan Picard dan Groelsema, 2008: 7) bahwa bantuan luar negeri adalah komponen diplomasi dan dapat dikatakan sebagai alat pengontrol yang efektif, setidaknya untuk mempengaruhi tindakan negara lain.


BAB II
Kepentingan Politik Jepang dalam ODA terhadap Indonesia

Telaah ODA Jepang: Prinsip, Tujuan, dan Kebijakan Dasar
Jepang merupakan salah satu negara pendiri Development Assistance Committee (DAC) of the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Sebagai salah satu negara pemrakarsa dan anggotan dari DEC, bentuk bantuan pinjaman yang diberikan kepada negara berkembang adalah Official Development Assistance (ODA) (Lancaster, 2008: 39).
Jepang sendiri merupakan negara terbesar kedua di dunia yang memberikan bantuan pinjaman kepada negara-negara berkembang setelah Amerika Serikat (AS). Kemampuan Jepang untuk menjadi salah satu negara terbesar yang memberikan bantuan pinjaman berupa ODA ke negara-negara berkembang memang didukung oleh ekonomi Jepang yang kuat. Hingga tahun 2005, dana pinjaman ODA yang diberikan Jepang kepada negara-negara mencapai angka 786.1 Triliun Yen. Angka ini hanya 0.91% dari Gross National Income Jepang (http://sherwintobing.com, diakses 22 Desember 2009).
Sejak kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, ekonomi menjadi fokus utama yang dijalankan Jepang untuk bangkit menjadi salah satu negara besar di dunia. Oleh karena itu, dalam Perang Dingin, Jepang tidak banyak terlibat, meskipun Jepang adalah aliansi utama AS di wilayah pasifik. Dengan demikian, Jepang mulai mengembangkan teknologi serta industri domestik sebagai penopang ekonomi Jepang yang kuat.
Namun Jepang bukanlah negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Kebutuhan industri dalam negeri Jepang harus didukung oleh SDA, seperti bahan bakar maupun bahan baku industri lainnya. Oleh karena itu, meskipun Indonesia dan Jepang secara resmi membuka hubungan diplomatik pada April 1960, namun sejak tahun 1954, Indonesia telah menerima dana bantuan pinjaman ODA (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 25 Desember 2009).
Peran Jepang yang sangat besar bagi Indonesia, dirasakan ketika Krisis Asia yang menerjang perekonomian Indonesia tahun 1998. pada saat krisis tersebut, Jepang merupakan negara yang memberikan bantuan terbesar bagi Indonesia dalam mengatasi krisis. Sejak Krisis Asia yang terjadi pada Indonesia pada tahun 1998, bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia mulai mengalir, dengan pernyataan 587 komitmen Jepang terhadap Indonesia, dengan total bantuan 3.265 Triliun Yen (http://www.realityofaid.org, diakses 22 Desember 2009).
Proporsi bantuan pinjaman ODA Jepang terkonsentrasi di negara-negara Asia Timur. Sebab Jepang sendiri merupakan negara di kawasan Asia Timur yang memiliki sejarah dinamika hubungan antara Jepang dan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Dinamika hubungan antara Jepang Indonesia pun, tidak terlepas dari sejarah kolonialisme Jepang di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Hook (2008: 86-87) konsentrasi bantuan pinjaman ODA Jepang banyak terkonsentarsi di wilayah Asia Timur. Hook juga menjelaskan bahwa negara-negara donor, termasuk Jepang, memiliki konsentrasi wilayah masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan masing-masing negara donor. Jika ditelaah lebih jauh, maka konsentrasi ODA Jepang terhadap negara-negara Asia Timur, menunjukan kebijakan luar negeri Jepang dan kepentingan di Asia Timur. Dalam kawasan Asia Timur, bahkan di Indonesia, merupakan negara penerima terbesar bantuan Jepang. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa Jepang memiliki sebuah “interest” tersendiri kepada Indonesia yang menjadikannya mendapatkan prioritas utama dari bantuan pinjaman ODA Jepang.
Seperti yang dikutip dalam situs resmi ODA Jepang di Indonesia (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 22 Desember 2009), menyebutkan falsafah dan prinsip ODA Jepang terhadap Indonesia yang tercantum dalam Piagam ODA. Pokok-pokok yang tertuang dalam Piagam ODA tersebut, antara lain: Tujuan dan Kebijakan Dasar, Isu Prioritas, Kawasan-Kawasan Prioritas, dan Prinsip Pelaksanaan ODA. Pemerintah Jepang menyebutkan bahwa ODA Jepang bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi perdamaian dan pembangunan komunitas Internasional, dimana hal ini membantu menjamin keamanan dan kemakmuran Jepang. Dari tujuan ODA yang disebutkan Jepang dalam Piagam ODA, setidaknya menjelaskan bahwa prioritas ODA Jepang di wilayah Asia Timur memang ditujukan pula untuk menjamin Jepang. Kemudian, pada prinsip pelaksanaan ODA, menyebutkan bahwa pemakaian ODA tidak ditujukan untuk tujuan-tujuan kemiliteran atau untuk memperparah konflik dan perhatian penuh akan diberikan terhadap usaha-usaha demokratisasi dan penerapan ekonomi pasar.
Jika bantuan luar negeri memang bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan luar negeri suatu negara, maka kebijakan bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia pun ditujukan untuk hubungan kedua negara yang memberikan refleksi positive bagi Jepang. Seperti yang dijelaskan oleh Hook (2008: 86) bahwa Jepang menggunakan bantuan luar negerinya, termasuk bantuan pinjaman ODA untuk membangun ikatan-ikatan regional Asia Timur. Stabilitas kawasan Asia Timur merupakan faktor penting bagi keberlangsungan Jepang, baik secara politik dan ekonomi. Melihat kembali pada prinsip dan tujuan yang dipaparkan diatas, kita dapat mengidentifikasikan bahwa faktor keamanan dan kondisi pasar di Asia Timur memiliki arti yang luas bagi kekuatan Jepang yang ditopang dari segi ekonominya. Konsentrasi yang diberikan Jepang terhadap kawasan Asia Timur, seperti yang dijelaskan oleh Hook, bahwa Jepang lebih memberikan perannya sebagai penggerak Asia Timur dari pada pertumbuhan ekonomi secara global.
Secara kawasan Asia Timur, maka adanya program ODA dapat membawa tujuan Jepang untuk berada pada kawasan pasar bebas Asia Timur. Seperti yang dijelaskan oleh Arase (1995: 175) bahwa ODA mampu menstimulus ekonomi Jepang. Stimulus yang muncul dikawasan Asia Timur ini memang dikarena ODA juga bertujuan untuk membantu infrastruktur-infrastruktur negara-negara berkembang di Asia Timur dan berprinsip pada pasar bebas seperti yang tercantum pada Piagam ODA Jepang.
Melihat keterikatan Jepang yang begitu besar akan kawasan Asia Timur, maka dapat kita lihat posisi Indonesia. Dibandingkan dengan kawasan Asia Timur lainnya, maka Indonesia adalah negara terbesar kedua secara wilayah dan populasi terbanyak kedua setelah China. Indonesia di kawasan Asia Timur memiliki posisi strategis bagi Jepang, yaitu sumber daya alam yang melimpah dan posisi maritime Indonesia yang memiliki jalur pelayaran strategis. Meskipun sebenarnya China juga memiliki posisi yang sama dengan Indonesia, namun hubungan politik yang tidak stabil antara China dengan Jepang menyebabkan proporsi bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap China tidak sebesar Indonesia. Seperti yang dijelaskan dalam (http://one.indoskripsi.com, diakses 29 Desember 2009), bahwa hubungan China dan Jepang masih dipengaruhi dendam China atas Perang Dunia II terhadap Jepang, lalu perekonomian China yang mulai bangkit yang menjadi pertimbangan matang Jepang untuk membentuk sikap atas China. Dimana, sejak Jepang di bawah Perdana Menteri Junichiro Koizumi, Jepang memotong dana ODA bagi China yang sebelumnya penerima ODA terbesar (Katada dalam kutipan Hook, 2008: 99). Sedangkan posisi Indonesia sebagai negara yang strategis bagi Jepang, terletak pada keberlangsungan Jepang di bidang ekonomi dan industri yang itu sangat bergantung pada sumber daya alam Indonesia serta stabilitas keamanan jalur pelayaran di Asia Timur yang melewati Indonesia.

Kepentingan Politik Jepang di Indonesia
Melihat beberapa pemaparan diatas, diawal uraian ini, kita dapat melihat bahwa Indonesia di kawasan Asia Timur memang memiliki peran yang cukup strategis bagi Jepang. Jepang yang mengandalkan perekonomian bagi kekuatan negaranya, berarti harus didukung oleh kekuatan industri yang kuat pula. Industri inilah yang harus ditunjang oleh bahan baku maupun bahan bakar industri. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, tentu dapat menarik perhatian Jepang.
Selain di sisi sumber daya alam yang menarik bagi Jepang terhadap Indonesia, posisi strategis Indonesia secara geografi juga merupakan faktor penting yang tidak diabaikan bagi Jepang. Baik itu wilayah Indonesia dalam jalur pelayaran maupun garis pantai yang potensial bagi lalu lintas perdagangan Jepang. Seperti yang diungkapkan dalam peringatan lima puluh tahun hubungan Indonesia Jepang (http://www.aksesdeplu.com, diakses 29 Desember 2009) bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang dianggap penting bagi Jepang, baik secara politik maupun secara ekonomi. Secara ekonomi sendiri Indonesia merupakan pemasok bagi Jepang di bidang energi dan sumber daya alam lainnya. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, menjadikan Indonesia adalah pasar menarik bagi produk-produk canggih Jepang. Selain itu, yang terpenting bahwa Jepang melihat Indonesia sebagai negara pantai yang mempunyai peranan siginifikan dalam mengamankan Selat Malaka, dimana Selat Malaka menjadi jalur pelayaran energi dan perdagangan utama Jepang.
Melihat berbagai arti penting Indonesia bagi Jepang diatas, maka Jepang memiliki sebuah kewajiban untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia yang masih lemah, merupakan salah satu celah yang dapat dimasuki oleh Jepang untuk membangun hubungan antara Jepang dan Indonesia yang lebih baik. Pembangunan Indonesia banyak dialiri dana bantuan asing terutama bantuan dari Jepang. Pemberian bantuan pinjaman ODA sejak tahun 1954, akan memberikan ketergantungan Indonesia terhadap bantuan Jepang, terlebih lagi Jepang adalah negara terbesar yang memberikan bantuan dan pinjaman bagi Indonesia (http://www.realityofaid.org. diakses 22 Desember 2009). Secara tidak langsung bantuan dan pinjaman dari Jepang terhadap Indonesia akan memberikan dampak ketergantungan Indonesia terhadap Jepang.
Jika melihat kembali pada beberapa tujuan, prinsip dan kebijakan dasar Jepang atas Piagam ODA, maka dapat dianalisis sebuah kontruksi hubungan yang coba dibentuk antara Indonesia dengan Jepang melalui ODA. Seperti pembentukkan kondisi internasional yang damai, dapat kita lihat posisi penting Indonesia di ASEAN adalah faktor yang tidak dapat diabaikan. Indonesia merupakan negara terbesar dalam ASEAN dan sekaligus negara pemrakarsa ASEAN. Faktor kedekatan Jepang dengan Indonesia setidaknya akan membantu posisi Jepang di kawasan Asia Tenggara maupun dalam ASEAN.
Sementara itu, kondisi damai yang diutarakan Jepang melalui Piagam ODA, dapat dilihat bahwa stabilitas Indonesia akan mempengaruhi Jepang. Dapat diuraikan di sini, kondisi Indonesia yang tidak stabil akan mempengaruhi ekspor Jepang dan investasi Jepang di Indonesia serta pasokan energi dan sumber daya alam lainnya dari Indonesia ke Jepang. Dalam lingkup eksternal pun, kondisi di wilayah sekitar Indonesia akan mempengaruhi aktivitas ekonomi Jepang dengan negara lain, mengingatkan Indonesia adalah negara yang menjadi jalur perdagangan Jepang.
Bagi Jepang, kondisi Indonesia diharapkan selalu stabil dan aman, mengingat posisi Indonesia yang penting pula baginya. Oleh karena itu, proporsi ODA di Jepang sangat besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Proporsi ODA sendiri yang diterima Indonesia dapat kita lihat sebagai berikut:



Sumber: Minister of Foreign Affairs of Japan (http://www.id.emb-japan.go.jp, diakses 22 Desember 2009)

Dari grafik diatas, dapat kita analisa bahwa Peran Jepang yang besar terhadap pembangunan di Indonesia akan memberikan posisi yang besar bagi Jepang. Oleh Karena itu, dari adanya ODA yang diterima Indonesia dari Jepang akan meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Beberapa keuntungan yang didapatkan Jepang dari hubungan yang baik dengan Indonesia adalah: Pertama, sumber daya alam. Sebagai contoh, Jepang mendapatkan harga aluminium dari Indonesia dengan harga yang murah (http://www.parc-jp.org/parc_e/index.html, diakses 29 Desember 2009). Kedua, adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang, memberikan peluang bagi Jepang untuk melebarkan pangsa pasar produk-produk Jepang di Indonesia di tengah persaingan global dengan negara lain. Ketiga, bantuan pinjaman ODA dari Jepang sebagai langkah Jepang untuk menciptakan kondisi Indonesia sebagai wilayah yang relative stabil bagi jalur perdagangan Jepang.
Dari bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia mendorong hubungan yang erat antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dapat diidentifikasikan dari perayaan ulang tahun emas Indonesia-Jepang yang menunjukan bahwa Jepang merupakan negara yang strategis bagi Indonesia. Seperti yang dijelaskan Ronny Prasetya Yuliantoro, selaku Pejabat Fungsi Penerangan Kedutaan Beasr Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, bahwa secara ekonomi, Jepang menduduki posisi yang sangat strategis, selain menjadi mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga termasuk negara dengan investasi terbesar di Indonesia (http://www.aksesdeplu.com, diakses 29 Desember 2009).
Dari pembahasan diatas, dapat kita temukan jawaban bahwa bantuan pinjaman ODA yang diberikan Jepang terdapat muatan kepentingan politik yang ditujukan kepada Indonesia. Kepentingan politik tersebut adalah kepentingan hubungan antara Jepang dan Indonesia yang dikonstruksikan Jepang, mengingat posisi strategis Indonesia di kawasan Asia Timur, baik secara geografis maupun sumber daya alamnya. Dengan adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang, membentuk sebuah konstruksi bahwa Jepang adalah mitra strategis bagi Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dapat membantu Jepang dalam mengimplementasikan kepentingan-kepentingan praktis Jepang, baik secara politik dan ekonomi di kawasan Asia Timur.

BAB III
Kesimpulan

Kesimpulan
Hubungan erat antara Jepang-Indonesia banyak dipengaruhi peran strategis Jepang terhadap pembangunan di Indonesia. Bantuan pinjaman ODA merupakan salah satu faktor yang mendorong bahwa Jepang memiliki peran aktif dalam pembangunan di Indonesia. Adanya bantuan pinjaman ODA dari Jepang terhadap Indonesia, memberikan refleksi positive bagi Jepang untuk bertahan sebagai salah satu kekuatan dunia, terutama di bidang ekonomi. Pertumbuhan Jepang yang pesat tidak bias diabaikan dari peran industri dan perdagangannya. Dua hal tersebut merupakan kepentingan praktis yang dibawa Jepang melalui kepentingan politiknya di Indonesia. Mendapatkan sumber daya alam secara mudah dan pengamanan terhadap jalur perdagangan Jepang setidaknya dapat diandalkan karena keterikatan maupun tanggung jawab yang diberikan Indonesia terhadap Jepang sebagai suatu refleksi dari manfaat bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia.
Bagaimanapun juga, dari permasalahan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas politk yang dibawa oleh suatu negara terhadap negara lain mampu memberikan refleksi positive apabila aktivitas tersebut dipandang sukses. Dalam permasalahan ini dapat dilihat bahwa bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia adalah aktivitas politik yang sukses karena dari bantuan pinjaman ODA Jepang terhadap Indonesia, Jepang mampu mengamankan posisinya sebagai salah satu kekuatan dunia, termasuk di kawasan Asia Timur dengan posisi strategis Indonesia di satu kawasan dengan Jepang, baik secara geografis maupun ekonomi.

Daftar Pustaka

Buku
Arase, David. 1995. “Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid”. Boulder, CO: Lynne Rienner.
Balaam, David N. dan Veseth, Michael. 2008. “Introduction to international Political Economy, Fourth Edition”. New Jersy: Pearson Education.
Carnoy, Martin. 1974. “Education as Cultural Imperialism”. New York” Longman Inc.
Cipto, Bambang. 2005. ”Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Coulombis, T. A. dan Wolfe, J. H. 1999. ”Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Keadilan dan Power”. Bandung: CV. Abardin.
Hayter, Teresa. 1989. Exploited Earth: Britain’s Aid and Environment”. London: Earthscah Publications
Lichtheim, George. 1971. ”Imperialism”. New York: Frederick Praeger.
Mas’oed, Mohtar. 1990. ”Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”. Jakarta: LP3ES.
Rix, Alan. 1990. “Japan’s Aid Programs: A new Agenda”. Canberra: Australian Government Publishing Service.
Singarimbun, Masri, ed. 1995. “Metode Penelitian Survey”. Jakarta: LP3ES.
Subagyo, P. Joko. 1997. ”Metode Penelitian Teori dan Praktek”. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Artikel dalam buku
Hook, Steven W. 2008. Foreign Aid In Comparative Perspective: Regime Dynamics and Donor Interest. Foreign Aid and Foreign Policy: Lessons for the Next Half-Century. Transnational Trends in Governance and Democracy. New York: National Academy of Public Administration
Lancaster, Carol. 2008. Foreign Aid in the Twenty-First Century: What Purposes?. Foreign Aid and Foreign Policy: Lessons for the Next Half-Century. Transnational Trends in Governance and Democracy. New York: National Academy of Public Administration
Picard, Louis A. Dan Groelsema, Robert. 2008. U.S. Foreign Aid Priorities: Goals for the Twenty-First Century. Foreign Aid and Foreign Policy: Lessons for the Next Half-Century. Transnational Trends in Governance and Democracy. New York: National Academy of Public Administration

Jurnal
Abbot, George C. 1973. “Two Concepts of Foreign Aid”. World Development, Vol. 9, September.
Bahri, M. Mossaden. 2004. International Aid for Development? An Overview Japanese ODA to Indonesia. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 1, April 2004.

Internet
Bahagijo, Sugeng. 2002. Japanese ODA in Indonesia: a High Price for Poverty. http://www.realityofaid.org/roareport.php?table=roa2002&id=7, diakses 22 Desember 2009.
Government of Japan. 2004. Country Assistance Program for the Republic of Indonesia. http://www.mofa.go.jp/policy/oda/region/e_asia/indonesia.pdf, diakses 22 Desember 2009.
Fujibayashi, Yasushi. 2003. “A Half Century of Official Development Assistance (ODA): from postwar to prewar”. http://www.parc-jp.org/parc_e/index.html, diakses 29 Desember 2009.
Japan Official Development Assistance Indonesia. 2008. Falsafah Bantuan Jepang: Piagam Official Development Assistance (ODA) Jepang. http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/whatisoda_05.htm, diakses 22 Desember 2009.
Japan Official Development Assistance Indonesia. 2008. Hubungan Bilateral Indonesia Jepang. http://www.id.emb-japan.go.jp/birel_id.html, diakses 22 Desember 2009.
Japan Official Development Assistance Indonesia. 2008. Sejarah Bantuan Jepang ODA di Indonesia. http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/whatisoda_02.htm, diakses 22 Desember 2009.
Japan Official Development Assistance Indonesia. 2008. Sektor Prioritas dan Kebijakan Dasar Bantuan ODA Jepang di Indonesia. http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/whatisoda_03.htm, diakses 22 Desember 2009.
Japan Official Development Assistance Indonesia. 2008. Sistem Bantuan ODA Jepang di Indonesia. http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/whatisoda_01.htm, diakses 22 Desember 2009.
Loelabie. 2008. Hubungan Cina dan Jepang. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/hubungan-cina-dan-jepang, diakses 29 Desember 2009.
Ministry of Foreign Affairs of Japan. 2009. ODA Country Policy toward Major Recipients. http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1999/ref3_01.html#East%20Asia, diakses 22 Desember 2009.
Suryadi, Jumara. 2007. Peluang Emas di Ulang Tahun Emas. http://www.aksesdeplu.com/kesempatan%20emas%20(JPN).htm, diakses 29 Desember 2009.
Tobing, Sherwin. 2009. Japan’s Official Development Assistance, Perspectives and Controversies. http://sherwintobing.com/2007/07/20/japans-official-development-assistance-perspectives-and-controversies/, diakses 22 Desember 2009.
Yoshinori, Murai. 2006. Japan’s ODA dan Indonesia. http://www.nindja.org/modules/news/comment_new.php?com_itemid=6&com_order=0&com_mode=nest, diakses 27 Desember 2009.

Monday, January 3, 2011

Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya terkait Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok

Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya terkait Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok:

Studi Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008

Bab I

Pendahuluan

We fail more often because we solve the wrong problem than because we get the wrong solution to the right problem”. (Russell Ackoff)

Latar Belakang Masalah

Bahaya ancaman asap rokok bagi kesehatan, mulai menjadi fokus yang penting bagi pemerintah di beberapa daerah. Hal ini terlihat dari adanya Peraturan Daerah di beberapa kota di Indonesia yang menerapkan masalah kawasan yang diperbolehkan untuk merokok, tidak boleh merokok, dan terbatas merokok. Setelah DKI Jakarta, Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia mulai menerapkan peraturan daerah merokok. Pemerintah Kota Surabaya telah merumuskan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Seperti yang dikutip dalam Viva News (http://nasional.vivanews.com, diakses 27 Desember 2009) Peraturan Daerah ini akan berlaku efektif mulai 22 Oktober 2009 di area Kota Surabaya.

Peraturan Daerah tentang merokok ini dilatarbelakangi oleh beberapa masalah yang kerap kali timbul akibat adanya orang yang merokok secara sembarangan atau bebas. Pemerintah Kota Surabaya melihat bahwa orang-orang yang tidak merokok atau dapat diistilahkan sebagai perokok pasif sering mendapatkan dampak dari orang yang merokok atau perokok aktif. Tentu saja, perokok pasif mendapatkan kerugian disini, terutama terkait masalah kesehatan maupun terganggunya lingkungan publik.

Seperti yang tercantum dalam pertimbangan Pemerintah Kota Surabaya bahwa Peraturan Daerah ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu: upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Kota Surabaya; pemerintah melihat bahwa merokok dapat menyebabkan terganggunya atau menurunnya kesehatan masyarakat bagi perokok maupun yang bukan perokok; Pemerintah Surabaya juga hendak menunjang Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang pengamanan Rokok Bagi Kesehatan; upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk menghormati hak-hak perokok. Sehingga diperlukannya ketentuan-ketentuan mengenai Kawasan Terbatas Merokok; dan adanya momentum-momentum yang dianggap sesuai bagi Pemerintah Surabaya untuk menerapkan Peraturan Daerah tentang Kawasan Rokok. Momentum tersebut, yaitu Peringatan Hari Tanpa Tembaku Sedunia.

Pemerintah Kota Surabaya, menyebutkan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 bahwa tempat-tempat yang disebutkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok adalah sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Dalam peraturan tersebut juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa Rokok adalah area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi. Penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok.

Sedangkan yang dimaksud dengan Kawasan Terbatas Merokok adalah tempat atau area dimana kegiatan merokok hanya boleh dilakukan di tempat khusus. Area-area yang termasuk dalam Kawasan Terbatas Merokok adalah tempat umum dan tempat kerja. Dalam pengertian Kawasan Terbatas Merokok, Peraturan Daerah menyebutkan bahwa setiap orang yang berada di Kawasan Terbatas Merokok dilarang merokok kecuali di tempat khusus yang disediakan untuk merokok.

Peraturan daerah ini tidak diberlakukan begitu saja oleh Pemerintah Kota Surabaya. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Esty Mariana dalam kutipan Kabar Bisnis (http://www.kabarbisnis.com, diakses 27 Desember 2009) bahwa sebenarnya Perda ini sudah disahkan sejak tanggal 22 Oktober 2008. Namun Perda ini berlaku aktif setelah satu tahun disahkan. Dalam waktu satu tahun inilah Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan sosialisasi ke masyarakat. Kepala Dinas Kesehatan juga menyebutkan bahwa Surabaya sudah siap untuk memberlakukan Perda Anti Rokok. Pernyataan tersebut dilandasi oleh adanya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 25 Tahun 2009 yang menunjang Perda ini.

Perda tentang Kawasan Merokok ini juga mendapatkan dukungan dari Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Meskipun Gubernur Jawa Timur mendukung pembentukkan Perda Kawasan Merokok di Surabaya, namun Gubernur Jawa Timur tidak akan menerbitkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur maupun Peraturan Gubernur Jawa Timur. Langkah yang diambil oleh Gubernur tersebut dipertimbangkan bahwa kebijakan publik yang mengatur masalah Kawasan Merokok adalah kewenangan Kepala Daerah Kota/Kabupaten itu sendiri. Selain itu, Gubernur Jawa Timur melihat bahwa beberapa daerah di Jawa Timur adalah daerah penghasil tembakau, oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut, Propinsi Jawa Timur tidak segera menerbitkan Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur yang mengatur tentang Kawasan Merokok. Seperti yang disampaikan Gubernur Jawa Timur dalam Kabar Bisnis (http://www.kabarbisnis.com, diakses 27 Desember 2009), yaitu:

“Bagus Perda itu, saya setuju. Tapi yang harus dipersiapkan adalah fasilitas tempat untuk merokok. Itu otoritasnya Walikota atau Kepala daerah untuk mengatur daerahnya....seperti di Sampang dan Pamekasan di Madura, yang merupakan daerah penghasil tembakau. Kalau bau tembakau saja dilarang, kan bisa merepotkan”

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 yang dirumuskan oleh Pemerintah Kota Surabaya telah diterapkan dan diberlakukan sejak 22 Oktober 2009. Sanksi Administratif yang diterapkan dalam Perda tersebut dengan urutan yang paling ringan. Urutan Sanksi Administratif berdasarkan urutan yang paling ringan yaitu berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, pencabutan ijin, pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah.

Meskipun Perda tersebut telah disosialisasikan dan dirumuskan melalui berbagai konsep, namun pada kenyataannya hingga bulan ketiga semenjak Perda tersebut diberlakukan, seperti tidak terlihat efemtifitasnya. Indikasi yang dapat mengatakan bahwa kebijakan publik yang dirumuskan pemerintak melalui Perda Kawasan Merokok tidak terlihat efektifitasnya dari masih banyaknya orang merokok di kawasan atau area manapun, terutama di area yang sudah terdapat tanda larangan merokok. Yang terjadi hingga Januari 2010, Perda ini berjalan hanya pada momentum-momentum khusus. Pada tempat-tempat yang ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Kawasan Tanpa Rokok, masih banyak orang yang merokok disana. Selain masih banyaknya jumlah pelanggaran, Perda ini juga belum berjalan penuh karena di beberapa tempat yang dinyatakan Pemerintah sebagai Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok belum ada fasilitas-fasilitas yang disediakan Pemerintah Kota Surabaya seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008.

Rumusan Masalah

Jika dilihat dari tanggal diberlakukannya Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008, yaitu 22 Oktober 2009, hingga saat penulisan makalah ini, 4 Januari 2009, maka Perda tersebut telah berjalan aktif kurang lebih tiga bulan. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Peraturan daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 telah berjalan aktif dan efektif di Surabaya?

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah: (1) Mengetahui Bagaimana Perda ini berjalan aktif dan efektif di Kota Surabaya dalam waktu 3 bulan semenjak diberlakukannya. (2) Penulisan juga ditujukan untuk mengidentifikasi respon masyarakat Kota Surabaya dalam menanggapi Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008.

Bab II

Pembahasan

Kebijakan Publik di Surabaya

Sebelum menganalisis bagaimana Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 telah berjalan aktif dan efektif sesuai tujuannya, maka pertama perlu disinggung sedikit mengenai arti dan makna dari kebijakan publik. Mengutip beberapa pendapat para ahli, seperti Thomas R. Dye, menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Robert Eyestone mendefinisikan Kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sementara itu, Carl Friendrich mendefinisikan kebijakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Jika mengolah dari berbagai definisi kebijakan publik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kebijakan publik adalah:

  1. Bukanlah merupakan suatu tindakan yang serba kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan.
  2. Terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan-tujuan tertentu
  3. Apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu
  4. Bisa berbentuk positif dan negatif
  5. Memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat / memiliki daya paksa

Dari sedikit uraian teoritisi di atas, lalu bagaimana dengan proses suatu kebijakan publik yang dikeluarkan Pemerintah Kota Surabaya terkait Kawasan Rokok di Surabaya? Seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 bahwa Perda bersama-sama diputuskan oleh Walikota Surabaya, Bambang D. H. dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya. Selain itu, dalam perumusan Perda ini ada institusi-institusi lain yang ikut serta dalam merumuskannya, yaitu Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya; orang perorangan atau badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak; Tim Pemantau Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok yang merupakan tim yang terdiri dari pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah dan/atau individu yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan seperti yang diutarakan oleh Robert Eyestone adalah Surabaya.

PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN PUBLIK

Substantive Problem

Konseptualisasi Spesifikasi

Problem Problem


SITUASI Pencarian Problem FORMAL PROBLEMATIK PROBLEM

Dari gambaran bagan diatas, dapat kita lihat bahwa masalah yang menyebabkan munculnya kebijakan publik Pemerintah Surabaya yang tertuang dalam Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 adalah masalah kesehatan yang disebabkan oleh asap rokok. Tujuan pemerintah untuk membuat kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Kota Surabaya dari ancaman bahaya asap rokok. Jika di lihat dari bagan di atas maka konseptualisasi masalah yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya sebagai aktor utama dalam perumusan kebijakan ini adalah konseptualisasi mengenai kawasan-kawasan yang dianggap perlu untuk dihindarkan dari asap rokok. Oleh karena itu, Pemerintah mengupayakannya dengan membentuk suatu kawasan yang disebut dengan Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa Rokok ditujukan bagi tempat-tempat publik yang mengarah pada kesehatan publik serta tempat dimana banyak dijumpai anak-anak. Semenatara Kawasan Terbatas Merokok adalah kawasan yang masih diijinkan merokok namun pada tempat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, yang mencangkup kawasan ini adalah kawasan dimana Pemerintah Kota Surabaya juga menyediakan fasilitas umum bagi perokok sebagai proses timbal balik.

Analisis Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008

Jika dilihat dari konseptualisasi seperti yang dicantumkan Pemerintah Kota Surabaya terkait Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok, maka dapat diidentifikasi bahwa Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 bukanlah kebijakan atau peraturan yang membatasi hak-hak individu lainnya yang dalam konteks ini merupakan perokok.

Namun perlu di lihat bahwa kebijakan publik ini memiliki tujuan, sehingga bagaimanapun juga, Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 harus berjalan aktif dan efektif untuk mencapai tujuannya. Secara konseptualisasi yang tertuang dalam Perda ini, dapat dilihat bahwa Pemerintah Kota telah merumuskannya dengan cukup maksimal, mengingat beberapa hal, seperti:

  • Sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya selama satu penuh sebelum Perda ini diberlakukan
  • Melibatkan pihak-pihak terkait yang memiliki kapabilitas cukup tinggi dalam merumuskan kebijakan ini, seperti Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Sebab, apabila tujuan Pemerintah Kota Surabaya memang terfokus pada masalah kesehatan publik di Surabaya, maka pihak yang paling berkapabilitas adalah Dinas Kesehatan Kota Surabaya
  • Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya untuk membagi kawasan ke dalam dua bentuk, yaitu Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok. Adanya pembagian Kawasan ini, merupakan upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk tetap mengharagi hak-hak perokok.
  • Upaya Pemerintah untuk menjalankan Perda dengan efektif, dalam konteks ini adalah solusi yang diberikan pemerintah untuk menyediakan fasilitas bagi perokok di Kawasan Terbatas Merokok.
  • Upaya Pemerintah untuk membuat petunjuk/ fasilitas/ larangan rokok. Upaya ini dapat diidentifikasikan sebagai upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk menjalankan kebijakan secara sistematis.
  • Pembentukkan sanski administratif yang cukup proporsional berdasarkan urutan dari yang ringan hingga yang terberat.
  • Upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk melibatkan masyarakat Surabaya dalam pengembangan kebijakan pemerintah tentang kawasan merokok.

Implementasi Kebijakan: Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008

Implementasi diartikan sebagai cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya. Sehingga implementasi kebijakan merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisator, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Arti tersebut merupakan arti yang luas dari implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan mencakup proses dari input, output, dan outcomes. Tindakan operasional dari implementasi kebijakan adalah mengubah keputusan ataupun kebijakan.

Merujuk pada teori yang dipaparkan dalam definisi implementasi kebijakan publik, maka Perda tentang kawasan merokok memiliki input, output, maupun outcomes lalu apa saja input, output, serta outcomes dari Perda ini? Lalu bagaimana aktir-aktor yang terlibat dalam Perda ini menjalankan suatu tindakan operasional di lapangan terkait kawasan merokok di Surabaya?

Jika dilihat pada tiga hal di atas; input, output, dan outcomes dari Perda merokok yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya, maka yang menjadi input disini adalah masyarakat Surabaya, kebijakan Pemerintah Pusat tentang Rokok Bagi Kesehatan, para ahli kesehatan di Dinas Kesehatan. Sementara outcomes nya adalah Perda itu sendiri yang merupakan kebijakan publik dari Pemerintah Kota Surabaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Surabaya. Sedangkan outcomes adalah hasil dari Perda tersebut, inilah yang kita lihat apakah memang ada outcomes dari Perda ini.

Seperti yang diutarakan oleh Dwijowijoto (2003: 158-159) bahwa implementasi kebijakan publik pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering dilaksanakan sebagai peraturan pelaksana. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervendi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan intervensi itu sendiri. Sehingga dari penjelasan disini, Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 merupakan peratutan pelaksana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk menjadikan Kota sebagai kota yang sehat dan bebas dari ancaman rokok.

Setelah mendisuksikan konseptualisasi Perda, lalu bagaimana implementasi Perda di masayarakat. Sejak tanggal 22 Oktober 2009, Perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok telah diberlakukan, namun perda ini tidak sepenuhnya berjalan seperti yang tertuang dalam konsep atau wacana yang dibuat oleh pemerintah. Pada kenyataannya, meskipun telah ada sosialisasi dan sudah berjalannya Perda ini selama tiga bulan, namun masih ada beberapa hambatan dalam mengimplementasikan kebijakan ini sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008.

Perda yang dibuat oleh Pemerintah Kota Surabaya tentang kawasan bebas merokok merupakan sebuah upaya agar tujuan yang tercantum dapat berjalan dengan baik. Agar implementasi kebijakan dapat berjalan efektif, maka harus memperhatikan 4 isu pokok (Edward), yaitu:

  • Komunikasi; komunikasi adalah bagaimana cara pembuat atau stakeholder dari kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok bisa tersampaikan kepada masyarakat Surabaya yang merupakan obyek dari kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, agar dapat disampaikan dengan maksimal, maka dalam Komunikasi, Pemerintah Kota Surabaya perlu mempertimbangkan hal-hal seperti transmisi dari kebijakan tersebut, konsisten Pemerintah Kota Surabaya dalam mensosialisasikan Perda yang dibuatnya agar tidak terjadi kebingungan di masyarakat. Dan yang terakhir, dalam komunikasi tersebut, harus ada kejelasan; kejelasan akan mempengaruhi bagaimana masyarakat Surabaya memahami maksud kebijakan pemerintah Kota Surabaya dan hal ini akan menghindari kesalahpahaman tafsir terhadap Perda yang dibuat pemerintah.
  • Sumber Daya; ketika pemerintah membuat suatu kebijakan publik, pemerintah harus memastikan ketersediaan dari sumber daya yang dimiliki. Dalam mengimplementasikan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya terkait Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, harus menyediakan staf-staf yang bertindak secara operasional sesuai dengan Perda yang dibuat. Kemudian, pemerintah juga harus menyediakan fasilitas. Jika memenag pemerintah menghendaki suatu kawasan terbatas merokok, maka bagaimana pemerintah menyediakan fasilitas bagi perokok. Selain itu, fasilitas juga mencakup simbol/tanda yang mengkomuniaksikan tentang larangan merokok di tempat yang telah tercantum di Perda. Terakhir adalah wewenang, yaitu sumber daya yang berwenang dalam membereikan sanksi maupun menindak serta mengimplementasikan sanksi.
  • Disposisi; merupakan kecenderungan perilaku pelaksana, bagaimana masyarakat Surabaya mersepon kebijakan Pemerintah Kota Surabaya? Menolak kebijakan tersebut atau justru malah mendukungnya?
  • Struktur Birokrasi; dalam konteks ini adalah birokrasi yang dibuat pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Karena birokrasi adalah salah satu organ penting untuk mengakomodasi berbagai sumber daya manusia yang terlibat dalam kebijakan tersebut.

Jika dilihat dari empat isu pokok yang dipaparkan oleh Edward, maka dapat diidentifikasi hambatan-hambatan yang kerap kali ditemukan dalam implementasi kebijakan dan masalah di lapangan terhadap persoalan ini, yaitu:

  1. Masih ada orang yang bebas merokok di tempat yang telah ditandai sebagai Kawasan Tanpa Rokok.
  2. Dalam Kawasan Terbatas Merokok, masih terdapat beberapa orang yang merokok tidak pada tempat yang disediakan atau merokok di sembarang tempat.
  3. Seperti yang tercantum dalam Perda, bahwa angkutan umum merupakan Kawasan Tanpa Merokok, namun Sopir angkutan umum masih terlihat merokok.

Berdasarkan uraian mengenai hambatan-hambatan dalam implementasi Perda ini, maka dapat diidentifikasi bahwa memang terdapa system dalam kebijakan yang kurang maksimal dijalankan oleh para Stakeholders Perda, seperti:

  1. Sosialisasi yang kurang maksimal oleh Pemerintah kepada masyarakat. Dalam masalah sosialisasi ini mungkin Pemerintah tidak menggunakan pendekatan yang langsung ditujukan kepada sasaran. Seperti misalnya, pemerintah hanya memasang informasi mengenai Perda dalam Surat Kabar maupun berbetuk Tanda/Peringatan/Larangan yang dikemas dalam Papan Reklame. Mungkin sosialisasi seperti ini tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat.
  2. Terhambatannya usaha Pemerintah Kota Surabaya untuk menyediakan sarana prasarana yang menunjang terciptanya Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok. Prasarana dan Sarana yang dimaksud adalah fasilitas bagi perokok di tempat Kawasan Terbatas Merokok.
  3. Sumber daya yang belum dipetakan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Hal ini terlihat dari tidak adanya pihak-pihak yang berwenang atas nama Pemerintah Kota Surabaya untuk menindak orang-orang yang melakukan pelanggaran di tempat yang dikatakan sebagai Kawasan Tanpa Merokok maupun Kawasan Terbatas Merokok. Dari sejak Perda ini dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surabaya pada tanggal 22 Oktober 2009, masih banyak pelanggaran terhadap Perda ini. Kenyataannya tidak ada sumber daya yang berwenang atau petugas tertentu yang memperingatkan. Memang kerap kali ada pemberitaan mengenai operasi yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dalam menjaring orang-orang yang melanggar aturan Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok, tetapi operasi tersebut bersifat momentum yang akibatnya Perda tersebut tidak bias berjalan efektif di lapangan.
  4. Seperti yang dicantumkan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 yaitu mengenai kawasan yang dimaksud sebagai Kawasan Tanpa Rokok; sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Di tempat-tempat tersebut belum mendapatkan fasilitas yang maksimal untuk menunjang, seperti larangan merokok. Di beberapa angkutan umum di Surabaya, masih ada penumpang yang bebas merokok, dan bahkan sopir angkutan umum itu sendiri juga merokok.

Alternatif Kebijakan terhadap Pelaksanaan Peraturan Daerah Surabaya Nomor 5 Tahun 2008

Melihat pada pemaparan-pemaparan diatas, memang terlihat hingga sejauh ini bahwa Perda tentang Kawasan Tanpa Merokok dan Kawasan Terbatas Merokok yang dikeluarkan Pemerintah Kota Surabaya belum berjalan efektif. Lalu bagaimanakah alternatif kebijakan yang dapat ditempuh agar kebijakan pemerintah dan Perda yang telah dirumuskan dapat berjalan sesuai tujuannya untuk kepentingan publik Surabaya?

Mengutip apa yang dikatakan oleh Merilee S. Grindle dalam teorinya mengenai kebijakan publik, maka dalam sebuah kebijakan publik harus memperhatika faktor-faktor yang tercakup sebagai Content dan Context. Grindle menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai faktor-faktor dalam Content of Policy adalah kepentingan aktor dalam kebijakan tersebut, keuntungan atau manfaat yang didaptkan dari kebijakan tersebut, luas perubahan yang akan timbul dari kebijakan tersebut, tingkatan pengambilan keputusan dalam strukur kebijakan, pelaksanaan program, serta sumber daya. Sedangkan yang termasuk sebagai Context of Policy adalah (1) Power, Interest Group, Strategi. (2) Sifat-sifat kelembagaan dan rejim. (3) Kepatuhan dan Responsivitas.

Bercermin dari teori yang dikatakan Grinlde, maka alternative kebijakan yang dapat dibuat dalam membantu implementasi kebijakan publik Pemerintah Kota Surabaya terkait masalah Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan terbatas Merokok adalah: kebijakan untuk mensosialisasikan secara tepat sasaran kepada seluruh masyarakat Surabaya dengan membuat sebuah media komunikasi yang efektif namun menarik antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Masyarakat Kota Surabaya. Dalam alternatif kebijakan ini, agar Pemerintah tidak melibatkan masyarakat hanya dengan kotak saran dan krtik saja. Televisi-televisi lokal yang ada di Surabaya bisa menjadi sebuah saran untuk mengkomunikasikan Perda ini, namun dengan cara yang sesuai dengan masyarakat, di mana jika diidentifikasi lebih lanjut, bahwa karakter masyarakat Kota saat ini sangat menagumi berita-berita hiburan dari pada berita informatif. Sehingga bagaimana Pemerintah menyusupkan informasi kebijakan tersebut melalui acara-acara yang menjadi tren di msayarakat Kota surabaya. Dengan demikian, setidaknya Perda yang dibuat oleh Pemerintah Kota Surabaya dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.

Namun dari kesemuanya, yang terpenting sebelum alternatif kebijakan ini diimplementasikan adalah bagaimana pemerintah menyediakan sumber daya yang menunjang Perda ini. Sebab apabila Sumber Daya yang menunjang Perda ini belum tersediakan, maka Perda ini akan berjalan namun tidak maksimal. Perlu dingat kembali bahwa tujuan dari implementasi kebijakan adalah untuk mencapai tujuan dan sasarannya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Surabaya sebagai stakeholder utama harus memberikan kontribusi besar dengan memahami karakteristik lingkungan maupun masyarakat Kota Surabaya. Dengan memahami karakteristiknya, maka komunikasi akan berhasil dan kebijakan akan berjalan efektif.

Bab III

Kesimpulan

Anything Government Choose to do or not to do

(Thomas R Dye)

Pemerintah Kota Surabaya adalah actor utama dalam kebijakan publik terkait Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok. Arti penting dari sebuah kesehatan publik di Surabaya, membawa Pemerintah untuk mengupayakan berbagai kebijakan publik yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat Kota Surabaya, termasuk dari ancaman bahaya asap rokok. Dari pandangan umum yang demikian inilah, lahirlah sebuah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 yang diputusakan secara bersama-sama oleh Walikota Surabaya dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya.

Mengingat sedikit bahwa Perda merupakan kebijakan pelaksana, maka dari Perda di harapkan Kota Surabaya dapat mencapai tujuannya di bidang kesehatan terutama dari ancaman asap rokok. Langkah Pemerintah Kota Surabaya untuk merumuskan Perda ini merupakan sebuah langkah yang penting. Namun yang terpenting lagi adalah bagiamana Perda ini dapat berjalan efektif sejak 22 Oktober 2009.

Implementasi kebijakan tentang Kawasan tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok memang kurang berjalan efektif ddi Kota Surabaya, ketidakefektifan tersebut dikarenakan permasalahan Sumber Daya serta Komunikasi dari Pemerintah Kota Surabaya kepada Masyarakat Surabaya yang kurang diperhatikan. Kembali kepada apa yang dikatakan oleh Edward, maka Komunikasi dan Sumber Daya adalah dua isu pokok dalam kebijakan publik yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, sebelum menjalankan seluruh kebijakan atau mencoba menerapkan sebuah alternatif kebijakan baru terhadap wacana Kawasan Tanpa Rokok maupun Kawasan Terbatas Merokok, yang terpenting pertama adalah bagaimana kebijakan tersebut dijalankan secara sistematis dan bukan hanya bersifat momentum. Hal terakhir yang perlu ditambahkan penulis dari sebuah Perda terhadap masyarakat adalah bagaimana sosialisasi Perda disesuikan dengan karakteristik dan kondisi lingkungan dan masyarakat Kota Surabaya. Terobosan yang dapat dibuat disini adalah mensosialisasikan Perda melalui sendi-sendi hiburan rakyat yang tidak pernah lekang oleh waktu.

Daftar Pustaka

Buku

Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. “Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Bahan Kuliah

Team Pengajar Kebijakan Publik, FISIP Unair Surabaya. Semester Ganjil 2009/2010. Implementasi Kebijakan, Jenis dan Ruang Lingkup Kebijakan, Kebijakan Publik-Introduction, Kebijakan sebagai Proses, Model Kebijakan, Perumusan Masalah, Problem-Masalah-Isu KP, Skema Publik Policy.

Internet

Kristanti, Elin Yunita. 2009. Merokok di Surabaya Bakal di Denda Rp.50.000,-. http://nasional.vivanews.com/news/read/98717_denda_rp_50_juta_ancam_perokok_di_surabaya, diakses 27 Desemeber 2009.

__________. Tanpa tahun. Menyoal Perda Rokok di Surabaya. http://www.lintasberita.com/Nasional/Berita_Lokal/Menyoal_Perda_Rokok_Surabaya, diakses 27 Desember 2009.

Nugraha, Purna Budi. 2009. Besok, Perda Rokok Diberlakukan di Surabaya. http://www.kabarbisnis.com/hukum/226587_Besok__Perda_rokok_diberlakukan_di_Surabaya__.html, diakses 27 Desember 2009.

Dokumen Internet

Pemerintah Kota Surabaya. Tanpa tahun. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. http://www.scribd.com/doc/16571430/Peraturan-Daerah-merokok?autodown=pdf, diakses 27 Desember 2009.